Soal RUU Kejaksaan, Ini Catatan Kritis Dua Fraksi

“Selain itu, Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000 mengatur secara jelas, bahwa dalam penyelesaian diluar Pengadilan HAM (non-yudisial) dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan satu UU tersendiri,” katanya.

Karena itu, dia menilai apabila Kejaksaan memiliki dua peranan sekaligus yaitu sebagai penegak hukum dalam Pengadilan HAM Berat yang notabene harus mengumpulkan bukti-bukti, maupun aktif dalam rekonsiliasi agar penyelesaian dapat dilakukan diluar sidang, maka tentu akan menimbulkan kontradiksi dan kekacauan hukum.

Menurut dia, Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007 menyebutkan yang menentukan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran HAM berat dilakukan Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik.

Poin kelima menurut Zainuddin terkait mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang dapat didelegasikan kepada Penuntut Umum yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c RUU Kejaksaan.

Dalam ketentuan itu menurut dia menyebutkan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang, mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang dapat didelegasikan kepada Penuntut Umum.

“Menurut Fraksi PAN ketentuan ini harus ditelaah dan dikaji kembali, mengingat sangat rentan adanya penyimpangan dan intervensi atasan dalam memutuskan suatu perkara akan dikesampingkan demi kepentingan umum oleh Penuntut Umum,” katanya.

Dia mengatakan, poin keenam terkait Pasal 35 huruf a disebutkan Jaksa Agung berwenang menetapkan dan mengendalikan politik hukum, sedangkan dalam UU yang lama menyebutkan menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum.

Lihat juga...