Pedagang Kue Keliling Eksis di Masa Pandemi
Editor: Koko Triarko
Hendra bilang, sektor usaha kuliner putu ayu bukan tanpa kendala selama pandemi. Ia mengaku sempat mengalami pembatasan hampir selama empat bulan saat pandemi Covid-19 melanda. Sebab, sejumlah desa membuat portal untuk masuk, semua pendatang dilarang masuk. Sejumlah pelanggan, bahkan engan keluar rumah karena takut Covid-19.
Setelah masa adaptasi kebiasaan baru (new normal), ia mulai bisa kembali berjualan. Namun, pangsa pasar penjualan mulai berkurang di sejumlah sekolah SD hingga SMP. Berjualan keliling tetap dilakukan, meski hanya mengandalkan sepeda motor. Menjual kue putu ayu memiliki ciri khas bunyi nyaring dari ketel saat proses memasak kue tradisional tersebut.
“Penghasilan dari berjualan kue tradisional putu ayu masih tetap mencukupi bagi warga desa seperti saya, dengan hasil Rp450.000 sekurangnya Rp300.000 per hari,” terang warga Bakauheni itu.
Hendra bilang, saat musim penghujan berimbas ia kerap terhambat saat berkeliling. Ia memanfaatkan lokasi gardu, teras rumah dan masjid untuk berteduh. Meski hanya bisa mendapat hasil terbatas minimal Rp150.000 sekali berkeliling, saat hujan ia tetap bersyukur. Usaha kuliner putu ayu mengandalkan modal sendiri tanpa pinjaman.
Pedagang putu ayu lainnya, Parjiono, dalam keterbatasan fasilitas masih memakai sepeda kayuh. Sepeda dimodifikasi untuk meletakkan kotak kayu dan alat penanak bahan putu ayu. Ia bahkan masih memakai cetakan dari bambu.
Dalam keterbatasan fasilitas, ia mengaku masih tetap eksis menjajakan kue tradisional itu. Kerinduan anak anak mencegatnya saat mendengar suara nyaring ketel menjadi berkah baginya.
“Harganya relatif terjangkau, hanya Rp1.000. Namun, masih digemari berbagai kalangan,” cetusnya.