Lelaki setengah baya yang selalu bersarung, penjual bunga-bunga anggrek dan pembuat pot dari sabut kelapa, yang selalu menerimanya dengan ramah, ternyata bisa membaca peristiwa yang bakal terjadi.
“Bagaimana Pak Jo bisa tahu, maling itu mengembalikan semua curian bunga anggrekku?” desak Dewanti, dijejali perasaan ingin tahu.
“Saya melihat peristiwa itu dalam mata terpejam,” balas Pak Jo.
“Boleh saya mengajukan permintaan?”
“Selama bisa saya lakukan, saya bantu.”
“Datangkan pencuri itu ke hadapanku.”
“Itu mudah. Tapi tak akan baik bagi Ibu.”
“Saya tak akan mencelakainya.”
“Menjebak maling itu gampang. Tapi setelah Ibu tahu maling itu, jangan sekali-kali kecewa padanya.”
“Saya tak akan pernah menyesalinya.”
“Baik. Ia akan datang dini hari untuk menemui Ibu,” kata Pak Jo, membenahi pecinya. Lelaki setengah baya itu menampakkan kepercayaan pada sepasang matanya yang jenaka. Senyumnya juga jenaka.
***
MENANTI dini hari, Dewanti gelisah, dan berkali-kali mengintip gorden ruang tamu. Mengintip ke luar kaca jendela. Berharap seseorang berdiri merapat sisi pagar pelataran, dengan muka yang mengutuki semua orang.
Tak seorang pun berdiri di luar pagar. Dewanti mesti bersabar. Ia terus menanti seseorang lelaki berdiri dengan wajah seram, mata garang mengancam, tubuh kekar bertato, gundah berharap pengampunan.
Pada hari ke tujuh, Dewanti membuka pintu ruang tamu, dan terperanjat, dalam bayang-bayang bulan purnama, melihat satpam muda berdiri di depan pintu, dengan muka menguncup.
Tidak seriang saat menyeberangkan mobilnya. Apa yang ingin dikatakannya? Dewanti mendekati pintu pagar, membuka kunci. Menghampiri satpam muda yang terus menunduk.