Di kebun Pak Jo bergelantungan dan berjajar aneka bunga anggrek. Tiap kali memiliki waktu luang Dewanti menyempatkan diri mengunjungi kebun Pak Jo untuk membeli bunga anggrek yang belum dimilikinya.
“Semua bunga anggrekku dicuri orang,” kata Dewanti.
Pak Jo berhenti menganyam pot dari sabut kelapa. Menatap Dewanti dengan pandangan yang tenang. Menyingkap rahasia hati.
Ia terdiam. Memejamkan mata. Merenung. Keningnya berkerut. Ketika membuka mata, lelaki setengah baya itu tersenyum.
“Pada suatu pagi buta, bunga-bunga anggrek itu bakal dikembalikan.”
“Jangan bergurau. Mana mungkin maling mengembalikan barang-barang curiannya?”
Menahan tawa, Pak Jo menukas tenang, “Bunga-bunga anggrek itu belum dijualnya. Ia masih bimbang antara ingin mengembalikan bunga-bunga anggrek itu atau menjualnya.”
Tak mau percaya omongan Pak Jo, Dewanti memilih-milih beberapa anggrek yang tangkai bunganya masih menguncup. Ia juga memilih pot sabut kelapa yang menawan.
Ia membeli lima bunga anggrek dan lima pot sabut kelapa. Membayarnya. Sekali lagi Pak Jo menegaskan kesungguhan omongannya: pencuri itu akan mengembalikan seluruh bunga anggrek pada subuh buta.
***
BANGUN pagi hari, usai salat Subuh, Dewanti membuka pintu ruang tamu, berharap di teras atau pelataran sudah berserakan bunga-bunga anggrek kesayangannya.
Tapi teras itu kosong. Pelataran juga kosong. Tak ada bunga-bunga anggrek yang dilemparkan ke teras rumah atau pelataran. Semalaman ia tidur gelisah, menanti suara berdebam atau gaduh yang mencurigakan, saat bunga-bunga anggrek itu dikembalikan.
Mungkin bunga-bunga anggrek itu layu, beberapa kelopak bunga terputus. Alangkah sunyi teras dan pelataran pagi itu. Tak ada bunga-bunga anggrek kesayangannya. Hanya lipatan koran yang tergeletak di teras, dilempar pengantarnya dari luar pagar.