Leker, Kue Legendaris dari Zaman Kolonial Belanda
Editor: Koko Triarko
SEMARANG – Jika anak muda sekarang gemar kue kekinian seperti crepes, maka di era Kolonial Belanda sudah dikenal kue leker. Ini tidak lepas dari nama kue tersebut yang dalam bahasa Belanda, ‘lekker’ berarti tlezat atau enak. Hebatnya, kue tersebut tak lekang oleh waktu dan tetap digemari hingga sekarang. Termasuk oleh masyarakat Kota Semarang.
Bahan-bahan untuk membuat leker terbilang sederhana, berupa adonan tepung terigu yang dicampur tepung beras, tapioka, baking powder, dan vanili bubuk. Setelah tercampur sempurna, adonan kue yang encer tersebut dituang ke wajan kecil-kecil yang dipanaskan di atas api.
Campuran bahan dikombinasikan dengan cetakan yang tipis merata, menghasilkan tekstur kue yang krenyes layaknya kue crepes yang sangat dikenal para anak muda sekarang. Untuk menambah cita rasa, bisa ditambahkan aneka topping atau isian, mulai dari pisang, kacang, keju, coklat, hingga telur dan susu.

Setelah matang, kue leker berbentuk bundar tersebut dilipat menjadi dua, agar isian tidak tumpah dan memudahkan saat dimakan. Rasanya pun sudah dijamin enak dan lezat, seperti nama kue tersebut, leker.
Di Kota Semarang, ada banyak penjual kue leker tersebut. Paling terkenal, yakni leker Paimo. Namun di luar itu, pedagang kue legendaris tersebut dapat ditemukan di sekitar keramaian, seperti di sekolah, pasar hingga pusat perbelanjaan.
Salah satunya, Rohmat, yang sering mangkal berjualan di Toko Purnama, wilayah Karangwulan, Brumbungan, Semarang. Menggunakan gerobak kecil, lelaki paruh baya tersebut dengan cekatan melayani permintaan pembeli.