Ia ingin menjerit. Histeris. Biar orang-orang yang tampak sibuk di terminal ini tahu, betapa sengit kesakitan yang disandangnya.
Siapa tahu, ada yang bersimpati dan kemudian bergegas melebihi kecepatan cahaya, menyampaikan perihal dirinya kepada Pandan di Pelaman sana.
Siapa tahu pula, Pandan bergeming dari keputusan semula, lantas melesat ke sini dalam sekejap mata buat mencegah keberangkatannya. Siapa tahu.
Tapi ia tak sanggup menjerit. Bahkan untuk melenguh pun tidak. Sebab jejarum ngiang kata-kata itu telah membuat hatinya membulu-landak. Ia sekarat dalam pengertian yang mungkin paling sederhana: seperti tatih jarum detik pada jam dinding, yang sekarang merangkak menyempurnakan angka dua belas siang.
Ketika pupus suara ramah petugas dari corong loudspeaker tua, yang menyerukan agar semua calon penumpang bersiap, karena tinggal lima belas menit lagi keberangkatan, ia bangkit perlahan.
Sangat perlahan. Semua gerak seakan berlaku dalam hitungan sepersekian ribu pose. Termasuk gapaiannya pada mountain bag, kantong kresek, serta sebotol minuman mineral.
Ia berkemas dengan ngilu dan pilu selengkap-lengkapnya. Lirih ia membatin. Kumandangkan ke seantero kalbunya, doa beku yang lazim dirapal orang-orang yang terkalahkan keadaan: “Aku butuh keajaiban…”
Tiba-tiba jejaring syaraf indera penciumannya bergetar membaui aroma Pandan. Tak salah lagi. Tak salah lagi! Ini jelas bebauan Pandan!!! Bebauan yang sangat dikenalnya.
Bebauan yang berkiblat pada satu nama dalam ingatannya. Serta merta ia menjadi gugup. Seperti kisaran ganas angin puting beliung, sebentuk hasrat menggulungnya tanpa ampun, mencari arah pasti wangi Pandan bermuasal. Gugup. Ia menoleh ke arah pintu gerbang terminal.
***
AROMA Pandan… Tiga tahun lalu…