Membeli Bahan Bakar Nuklir Bukan Solusi Bagi Indonesia

Editor: Koko Triarko

“Untuk uranium, cadangan tertinggi dipegang oleh Australia, diikuti Kazakhstan dan Kanada dengan secara berurut 29 persen, 13 persen dan 9 persen. Lalu, thorium dipegang oleh India dengan 13 persen, Brazil 10 persen serta Amerika Serikat dan Australia pada tingkat yang sama, yaitu 9 persen. Sementara untuk LTJ, Cina mendominasi dengan 44 persen, diikuti Brazil dan Vietnam dan Russia,” kata Djarot.

Dengan adanya UU Cipta Kerja, diharapkan bisa membantu pemerintah Indonesia agar bisa bersaing dengan negara lain, dengan memberikan hak pada BUMN dan swasta dalam mengeksplorasi.

“Kenapa keterlibatan BUMN dan swasta ini bisa menjadi breakthrough?  Karena BATAN memiliki keterbatasan dalam mengeksplorasi. Terutama dalam hal LTJ. Kalau uranium dan thorium kebutuhannya mungkin bisa diatasi dengan siklus bahan bakar nuklir,” ucapnya.

Walaupun dalam siklus bahan bakar itu Indonesia masih memiliki kelemahan, yaitu dalam tahap reprocessing (penggunaan kembali bahan bakar paska proses reaksi) dan enrichment (pengayaan).

“Kedua tahap ini sering menjadi titik kecurigaan, fasilitas nuklir di suatu negara atau dalam hal ini Indonesia, ingin menggunakan hasil reaksi itu sebagai bahan baku senjata nuklir. Walaupun sebenarnya dalam Traktat Non-Proliferasi, penggunaannya dijamin selama untuk kepentingan damai,” pungkas Djarot.

Lihat juga...