Pengungsi Rohingya Lama di Aceh Bisa Timbulkan Resistensi

Sehingga, kata Iqbal, UNHCR perlu memikirkan segera nasib manusia perahu tersebut, apakah ingin dilakukan relokasi ke tempat penampungan resmi yang lebih layak, atau memiliki kebijakan lainnya.

Hal demikian perlu dipertimbangkan UNHCR, sebelum timbul polemik tersendiri di Pemko dan Pemprov, yang juga memiliki tanggung jawab terhadap rakyatnya.

Kata Iqbal, sebelum muncul resistensi dari masyarakat terhadap ratusan pengungsi etnis Rohingya tersebut.

“Itu yang saya takutkan terjadi di Aceh. Secara sosial orang Aceh memang fair menerima orang luar. Tapi ketika orang Aceh bakal ngomong ngapain Rohingya ke sini, habisi anggaran kita atau kenapa pemerintah lebih fokus ke mereka, itu yang saya takutkan, menghilangkan karakter orang Aceh yang suka membantu,” katanya.

Ada beberapa contoh negara di Eropa, kata Iqbal, yang menerima pengungsi dari negara-negara Islam yang berkonflik, tetapi menimbulkan resistensi di masyarakat mereka sendiri, ketika rakyatnya merasa terpinggirkan aspirasi politik, dan harus berbagi porsi dengan para pendatang tersebut.

“Karena dampak dari keterlambatan tindak lanjut UNHCR ini luas, ada beberapa hal seperti saya sampaikan, konflik sosial juga. Mereka (Rohingya) orang tanpa negara, jadi ketika mereka berbuat kejahatan di negara baru, mereka itu juga jadi penyakit sosial yang baru,” kata Iqbal lagi.

Seperti diketahui, 297 orang etnis Rohingya terdampar di Lhokseumawe pada Senin (7/9). Namun, sebelumnya pada Juni 2020 juga terdampar 99 Rohingya di Kabupaten Aceh Utara.

Namun, saat ini kedua gelombang Rohingya itu berada di BLK Kandang sebagai tempat penampungan sementara sembari menunggu tindak lanjut UNHCR. (Ant)

Lihat juga...