Pengaplikasian Kajian Oseanografi Sudah Dilakukan Sejak Nenek Moyang
Editor: Koko Triarko
Selain itu, Widodo menyampaikan, para intelektual Jawa kuno mengenal apa yang disebut primbon.
“Sebenarnya primbon adalah suatu kumpulan hasil observasi yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Observasi dilakukan mengkorelasikan antara tanda-tanda alam, perilaku hewan termasuk ikan, kemunculan bulan, bintang dan matahari, serta kejadian bencana,” kata Widodo.
Multikorelasi dan regresi secara kuno dilakukan untuk mendapatkan komponen-komponen harmonik, yang kemudian dipergunakan untuk meramalkan hari baik untuk mendapatkan tangkapan ikan dan menjauhi petaka.
“Komponen harmonik tersebut antara lain adalah lima unsur, yaitu udara atau Legi, api atau Pahing, Cahaya Matahari atau Pon, tanah atau Wage, dan air atau Kliwon. Variasi komponen harmonik lainnya adalah muncul ketika sistem penanggalan atau Kalender Jawa mengalami pengkayaan dengan diadopsinya sistem kalender Saka, yang berbasiskan siklus putaran matahari, dan sistem kalender Hijriah yang berbasikan siklus putaran Rembulan,” paparnya.
Dengan melakukan observasi pada hubungan manusia dengan alam secara integratif darat, laut, udara, angkasa dan benda langit, mereka melakukan penentuan pada keberlimpahan ikan, hewan maupun tumbuhan pangan.
Segala bentuk budaya yang berkembang di masyarakat ini, menjadi suatu bukti, bahwa observasi kajian terhadap laut sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang dahulu kala di Indonesia. Walaupun belum terdokumentasi secara ilmiah dan tersimpan dengan rapi rekam datanya, sehingga hanya terdapati sebagai tradisi-tradisi atau budaya kearifan lokal.
“Semua hal tersebut di atas adalah mewujudkan apa yang disebut sebagai etno-oseanografi. Yaitu, suatu kajian tradisi budaya kearifan lokal yang tanpa masyarakat sadari sebenarnya adalah berbasis kepada ilmu oseanografi, yang merupakan pengembangan dari oseanografi terapan,” pungkasnya.