Sali Menuntun Sapi

CERPEN BUDI WAHYONO

Kalau boleh mengeluh dengan bahasa modern, Sali merasa alergi. Bahkan gunjingan itu berubah menjadi patokan. Ibu-ibu yang belanja ke pasar krempyeng sering mengingatkan dengan sentilan-sentilan halus. Apalagi kalau bukan digiring untuk keluarga Pak Sali?!

Bu Sali merasa tersodok dengan opini itu. Dalam jaringan bertetangga, kondisinya yang miskin, membuat dia merasa dikucilkan. Terlempar jauh. Tersisih dari ukuran umur, profesi, kemampuan ekonomi dan tentu kesadaran berkorban kambing.

Ah, perkara seekor kambing ternyata bisa berpanjang-panjang. Apalagi kalau hitungan korban seekor kambing diubah menjadi iuran beli sapi setelah berkolaborasi tujuh orang – arus percakapan makin menjadi. Diskusi akan berkembang tanpa henti.

Lalu, entah suara aneh dari mana – mendadak telinga yang menempel di kepala isteri Sali seperti terasa ada yang mengingatkan. Tubuh istrinya gemetar, saat mau menutup warung sotonya. Suara tanpa wujud itu terasa mencegat segala geraknya.

“Bukankah usiamu sudah tua?” sambar suara tersebut makin membuat kaget.

“Iya. Suamiku juga sudah tua.’’ jawab Bu Sali. Mencoba berdada tenang.

“Rumah juga sudah punya. Anak-anak juga sudah punya rumah semua. Tidak kepengin mengorbankan salah satu binatang piaraanmu?” suara itu mengencang. Mau tidak mau pikiran Bu Sali langsung terbang ke desa asal. Dia teringat sapi yang digadokan adik perempuannya di sana bukankah sudah empat ekor?”

Bu Sali terdiam. Mustahil dia mampu memberi jawaban. Namun anehnya dia sulit melupakan pertanyaan yang terasa menohok pikirannya secara terus-menerus itu. Bahkan membuntuti dengan gerak penuh cekatan. Ketika menjelang tidur malam, di atas dipan berlapis kasur tipis – diungkapkan gundahan hatinya kepada suami. Kalau dideskripsikan bisa menjadi beberapa paragraf.

Lihat juga...