Sali Menuntun Sapi

CERPEN BUDI WAHYONO

“Yah, namanya rezeki, dinikmati saja to Dir.” sahut Sali cepat. Kadir agak gelagepan menimpali. Kadir kembali mengagumi sikap Sali yang selalu kampiun bersyukur.

“Kang, aku boleh minta tolong padamu?” pertanyaan Kadir membuat Sali setengah kaget. Baginya jarang menerima kalimat bernada bujukan itu dari Kadir. Semoga tidak meminjam uang, pikir Sali.

Maklum, uang iu menjadi bagian prioritas isteri dan cucunya yang kebetulan ikut dia. Si cucu sudah diterima sekolah SMK favorit. Dan ini cukup membanggakan bagi Sali.

“Bantuan apa?” Sali tak mau kehilangan momen. Kadir tersenyum. Tahu aliran ketakutan yang menjalari pikiran Sali.

“Aku mau memasang MMT atau semacam iklan di pohon ini Kang, mau jualan kambing dan sapi Kang. Mengadu rezeki. Kebetulan aku punya kenalan dari luar kota yang harga kambing-kambingnya miring,” kalimat Kadir meyakinkan.

Sali terkekeh. Bahasa Kadir sudah tergelincir bahasa bakulan. Bukan bahasa Kadir yang selama ini ditafsirkan penuh dedikasi.

“Berapa harga kambing sekarang, dan sapi?” tanya Sali asal saja.

“Biasa Kang, tiga juta sampai empat juta. Kalau sapi ya di atas dua puluh dua juta,” Kadir menjawab jujur. Sali tersenyum. Batinnya mengulik sejenak: Tidak beda jauh dengan tahun lalu.

Sejurus kemudian, Kadir pamitan mengambil MMT yang dimaksud. Sekembali dari “kamar dinas” halaman sekolah, segera dia ambil tangga dengan membawa alat pengikat kawat.

Paku dan pukul besi juga dikantongi dalam celana kombornya. Saking cekatannya, dalam tempo dua puluh menitan MMT sudah terpasang dengan gagah. Komunikatif. Ini dibuktikan dengan beberapa orang yang lewat dan kebetulan berhenti sejenak untuk mampir – banyak sunggingan senyum bertengger di bibir pembaca.

Lihat juga...