Optimalkan Pangan Lokal untuk Cegah ‘Stunting’
Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Kemenkes, balita pendek (stunting) di Indonesia mencapai 27,7 persen, 8 persen balita mengalami kegemukan, 10,2 persen balita kurus dan 17,7 persen balita berat badan kurang
“Pada satu sisi, kita ada kekurangan gizi dan juga kelebihan gizi. Artinya, kita harus memanfaatkan lahan yang ada untuk pemenuhan pangan keluarga,” katanya.
Data Riskesdas 2018 juga mencatat 53,4 persen anak (6-23 bulan) konsumsi makanannya tidak beragam, ditambah angka anemia ibu hamil mencapai 48,9 persen dan Wanita Usia Subur (WUS) hamil KEK (kurang energi kronis) 17,3 persen.
Dr. Dhian mengemukakan, penguatan ketahanan pangan di tingkat keluarga juga membutuhkan peran akademisi melalui tri darma perguruan tinggi, seperti melakukan penelitian yan efektif dan efisien terkait makanan lokal untuk pemenuhan gizi seimbang pada 1.000 HPK, evaluasi dapat juga dilakukan untuk pengabdian masyarakat.
“KKN tematik sangat bermanfaat untuk pendampingan kelompok risiko, hingga melakukan advokasi ke pemerintah untuk pengembangan status gizi di daerah melalui peningkatan kualitas konsumsi gizi 1000 HPK,” katanya.
Pemanfaatan Daun Kelor
Pada kesempatan tersebut, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas, Prof. Veni Hadju, mengungkapkan, telah dilakukan riset terkait manfaat daun kelor sebagai pangan lokal untuk melengkapi kebutuhan keluarga, khususnya pada ibu hamil.
Daun kelor memiliki kandungan zat besi 25 kali lipat dari sayur bayam dan kandungan protein tiga kali lipat dari telur, sehingga bisa meningkatkan daya kadar hemoglobin pada ibu hamil. Selain itu, daun kelor bisa untuk penanggulangan masalah gizi dalam periode 1.000 HPK.