Kesenian Wayang Potehi, Bertahan dari Perubahan Zaman

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Kendala lainnya, jumlah karakter wayang potehi yang sangat banyak, penguasaan bahasa hingga cerita, juga menjadi tantangan selanjutnya.

“Biasanya mereka yang tertarik, akan belajar menjadi anak dalang terlebih dulu, sebelum nantinya mereka terjun menjadi dalang,” tandasnya.

Toni pun berharap, masyarakat bisa ikut serta melestarikan seni budaya wayang potehi. Tidak hanya dari komunitas Tionghoa, namun juga secara luas.

Hal senada juga disampaikan pegiat budaya Semarang, Harjanto Halim. “Wayang Potehi memiliki nilai sosial yang tinggi dan menunjukkan arti toleransi yang sebenarnya. Namun, saat ini, memang penggemarnya semakin menurun, anak muda sekarang lebih suka dengan hal-hal yang modern,” paparnya.

Dirinya juga melihat, wayang potehi mampu tampil lintas budaya dan suku. Terbukti, wayang potehi yang berakar dari budaya Tionghoa, ternyata sekarang hampir semua dalang dalam wayang tersebut, sudah bukan orang Tionghoa tetapi orang Jawa.

“Mereka malah lebih paham ritual-ritualnya dan sejenisnya, yang masyarakat Tionghoa sendiri bahkan tidak paham. Sebuah budaya bukanlah milik etnis tertentu tetapi bisa dipelajari dan dijalankan oleh siapa pun dari etnis mana pun,” ujarnya.

Senada yang disampaikan Toni, Harjanto juga berharap seni budaya wayang potehi akan terus ada, hingga anak cucu mendatang.

“Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang akan melestarikannya. Jika belum bisa belajar menjadi dalang, setidaknya kita bisa bersama-sama, nanggap pementasan wayang potehi. Ini setidaknya juga bisa membantu agar kesenian ini bisa tetap bertahan,” tandasnya.

Lihat juga...