Warga Sleman ini Sukses Budi Daya Ayam Hias

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Sumedi menjelaskan ayam jenis Pheasant merupakan ayam hutan yang hanya bertelur setiap musim kawin saja, yakni setahun sekali. Waktunya antara bulan ke 9-10 atau saat awal musim penghujan. Karena itulah sebagai pembudidaya ia mengaku harus memanfaatkan saat musim kawin untuk mendapatkan anakan sebanyak-banyaknya.

“Saya menggunakan sistem poligami. Yakni 1 jantan dengan 2 betina. Begitu ayam bertelur, telur-telurnya saya ambil kemudian saya tetaskan dengan bantuan mesin penetas. Sehingga ayam bisa bertelur lagi tanpa perlu mengerami,” katanya.

Dengan ukuran telur sebesar telur ayam KR, satu ekor indukan ayam hias Pheasant di alam biasa menghasilkan 6-7 butir telur untuk dierami sendiri. Namun dengan sistem tetas mesin, satu ekor indukan bisa menghasilkan jumlah telur lebih banyak yakni rata-rata mencapai 15 butir telur dalam sekali siklus.

“Ayam hias Pheasant ini harganya cukup mahal karena memang produksinya tidak semudah ayam hias lain. Hanya setahun sekali. Itupun fertilitasnya rendah. Dari 15 butir telur, kemungkinan yang menetas hanya sekitar 10 ekor saja. Dan dari 10 ekor yang menetas itu paling hanya 5-6 ekor yang bertahan hidup hingga besar,” ungkapnya.

Karena tingkat produktivitas yang rendah itulah, biasanya setiap anakan ayam Pheasant yang dihasilkan Sumedi sudah dipesan oleh para konsumennya sejak jauh-jauh hari. Hal itu juga tak lepas karena Sumedi hanya melepas anakan saat usianya sudah mencapai 5-6 bulan, ketika jenis kelamin ayam sudah bisa diketahui.

“Biasanya saya jual pada konsumen secara langsung ataupun lewat online. Untuk yang online sudah hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Lombok. Biasanya konsumen memakai ayam hias Pheasant ini untuk hiasan rumah, restoran, hotel dan sebagainya,” pungkasnya.

Lihat juga...