Pendekatan Perang Timbulkan Spiral Kekerasan
Secara perspektif, konstitusi telah jelas diatur, bahwa TNI memegang peran pertahanan, sementara Polri bertanggung jawab atas keamanan.
“Jelas TNI bertanggung jawab dalam pertahananan, ancaman perang, kedaulatan, biasanya berhadapan dengan pemberontakan dan invansi negara lain menggunakan metode perang, sedangkan aspek keamanan di antaranya meliputi ketertiban dan penegakan hukum,” kata pakar hukum tata negara ini.
Hal lain yang tak kalah krusial, menurut dia adalah dalam perpres itu tak adanya kontrol penindakan dalam penanganan terorisme.
“Penindakan dilakukan TNI secara langsung, ketika ada perintah presiden. Pengerahan TNI sendiri dalam UU TNI harus ada persetujuan DPR,” katanya, menjelaskan.
Di tempat yang sama, anggota Komnas HAM, Choirul Anam mengatakan, dinamika ingin terlibatnya TNI dalam pemberantasan terorisme sebenarnya sejak lama.
Bahkan, rancangan perpres yang telah diserahkan ke DPR sejak awal Mei 2020 ternyata drafnya sama dengan yang sebelumnya diajukan beberapa tahun lalu.
Choirul mewanti-wanti, tanpa adanya kontrol dari parlemen, presiden sebagai panglima tertinggi dapat ikut terseret bila militer melakukan pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme.
Ia berpendapat, bahwa rancangan perpres itu akan menyeret kembalinya Orde Baru, bahkan mungkin lebih parah karena ketersediaan alat.
“Polisi sendiri ketika melakukan penyadapan harus seizin pengadilan. Di dalam rancangan perpres ini sendiri tidak ada, enggak ada kontrol apa pun. Itu sangat berbahaya,” ucapnya. (Ant)