Pendekatan Perang Timbulkan Spiral Kekerasan

Ilustrasi - Aparat Densus 88 - Dok: CDN

JAKARTA – Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ali Safa’at, mengkritisi Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) TNI dalam menangani aksi terorisme yang seharusnya pelibatan TNI hanya bersifat perbantuan.

“Tugas TNI menurut UU Tindak Pidana Terorisme seharusnya bersifat perbantuan bila diperlukan, dan melihat bentuk dan eskalasi ancaman,” kata Safa’at, dalam Diskusi Nasional secara virtual dengan tema “Kupas Tuntas Kontroversi Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme” di Jakarta, Jumat (5/6/2020).

Namun, Rancangan Perpres TNI dalam menangani terorisme yang telah diserahkan ke DPR pada awal Mei lalu itu, lebih bernapas pada UU TNI dibandingkan pelaksanaaan UU Pemberantasan Terorisme.

Safa’at lantas menyebut Pasal 2 Perpres yang berasal dari Pasal 6 UU TNI, dalam konteks alat pertahanan negara. Seharusnya, jika diperlukan perpres, menggunakan frame UU Pemberantasan Terorisme.

“Substansi Perpres justru mengambil frame UU TNI. Pasal 2 Ayat (2), misalnya, istilah digunakan adalah mengatasi, lalu diterjemahkan dalam fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan,” tuturnya.

Bila menggunakan frame UU TNI, menurut dia pengungkapan jaringan teroris akan menjadi problem tersendiri, karena metodenya menggunakan parameter perang.

Menurut dia, ketika penindakan dilakukan dengan pendekatan perang, justru akan menimbulkan spiral kekerasan.

TNI yang disiapkan untuk perang, kata dia, tentu mempunyai parameter berbeda dengan penegakan hukum. Semua ini akan mengalami masalah, utamanya dalam hal pengungkapan jaringan dan pembuktian saat persidangan.

“Karena militer dilatih dan dipersiapkan untuk perang, penanganan teroris jika perpres disahkan, metodenya akan menggunakan metode perang. Pengungkapan jaringan terorisme dan pembuktian pelaku menjadi problem tersendiri,” katanya, menjelaskan.

Lihat juga...