Dua Tahun Terakhir Pelaku Usaha Wisata Bahari Lamsel, Rugi
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Selain memiliki usaha homestay ia dan sang istri juga memiliki usaha warung makan. Usaha tersebut mulai pulih usai tsunami namun akhirnya kembali terpuruk akibat kunjungan wisatawan sepi.
Satu kamar dalam kondisi normal menurut Mian disewakan seharga Rp250 ribu lengkap dengan pelayanan makan. Peminat dominan berasal dari Jakarta oleh wisatawan yang ingin menikmati suasana pantai yang bersih.
Semenjak larangan berwisata akses jalan ke pantai diakuinya mulai diportal. Selain memutus mata rantai Covid-19 selama masa puasa Ramadan aktivitas wisata mulai berkurang.
Mian bahkan menyebut normalnya bisa mendapat omzet jutaan rupiah per bulan kini sama sekali tidak mendapat penghasilan. Sebab sejumlah kamar homestay tidak didatangi dan warungnya tidak buka.
“Pemasukan tidak ada padahal pembangunan homestay dari hasil pinjaman bank sehingga perlu ajukan relaksasi angsuran,” keluhnya.
Pelaku usaha wisata lain bernama Solehan mengaku dua peristiwa besar dua tahun terakhir sangat mempengaruhi usaha wisata. Memiliki usaha homestay dan sebagai pekerja seni pembuat suvenir dari kayu ia menyebut usahanya macet. Kerap ada ratusan wisatawan berkunjung kini hanya warga asal Bakauheni yang masih ke pantai.
“Wisatawan asal luar daerah dilarang datang yang semula menjadi sumber pemasukan bagi warga,” bebernya.
Usai tsunami 2018 ia dan warga lain memasuki tahap pemulihan namun kembali harus terpuruk. Kerap menjual suvenir seharga mulai Rp20.000 hingga ratusan ribu, kini ia tidak bisa mendapat penghasilan.
Beruntung tinggal di tepi pantai sehingga bisa bekerja sampingan sebagai nelayan. Mencari ikan di laut pada bagan apung dan memancing jadi sumber penghasilan baginya.