Kudeta?
OLEH: BRIGJEN TNI (PURN) DRS. AZIZ AHMADI, M.SC
Konsekuensinya, pola hubungan sipil-militer mengalami koreksi. Untuk Indonesia, juga mesti berbeda. Adalah Jenderal Besar AH. Nasution – intelektual, strateeg dan taktikus militer Indonesia – mengajukan konsep jalan tengah, yang kemudian dikenal dengan Dwifungsi ABRI/TNI. Militer bukan alat mati, tapi kekuatan politik juga. Militer diberi hak untuk ikut serta bermain politik, namun pada level hight politic – politik tingkat tinggi. Bagi militer, “terlalu mewah jika urusan negara, diserahkan hanya kepada para politisi/sipil”.
Sesungguhnya, Dwifungsi Militer model Indonesia itu, secara filosofis dan substansial, mengandung spirit dan makna hakiki yang lebih dalam lagi. Dengan Dwifungsi, militer diajak turut serta menentukan haluan, kebijakan dan arah politik negara. Risikonya, militer secara otomatis, diamputasi watak negatifnya berkudeta. Secara otomatis, militer (Indonesia) “kehilangan nafsu dan birahi untuk kudeta”. Kenapa? Masak sih mau mengkudeta dirinya sendiri? Bukankah, hitam/putihnya negara, militer telah ikut serta menentukan, atau terlibat secara langsung di dalamnya?
Sekarang, Dwifungsi Militer Indonesia sudah menjadi bagian, dari sejarah masa lalu bangsa. Diamputasi oleh era reformasi. Maknanya, watak primitif sebagai eksekutor politik melalui kudeta, seolah ter/dibuka kembali. Tentu TNI punya penilaian, pertimbangan dan ukuran sendiri. Ya … terserah TNI. Mau kudeta atau “puasa”?
Kapan “berbuka”? Tergantung asassement mereka (TNI) sendiri. Pastinya, kudeta, tidak sesederhana teori, emosi dan mengucapkannya. Dia butuh dukungan penuh secara internal (minimal loyalitas dan soliditas), sekaligus juga “cantolan politik” secara eksternal.