MASIH terlalu pagi. Samar-samar Broto mendengar perbincangan di pendapa padepokan. Ia meninggalkan kamar, mendekati pendapa.
Istrinya, Laksmita, duduk berhadapan dengan gadis bermata seindah bidadari. Orang memanggilnya Wulan, dari nama bidadari yang turun di telaga dan kehilangan selendangnya untuk kembali ke kahyangan: Nawang Wulan.
Sepasang mata Wulan bulat, jeli, bening dan teduh. Broto bimbang memasuki pendapa. Ia tak menduga sama sekali, bila yang bertamu ke rumahnya adalah gadis bermata sejernih bidadari.
Bukankah Wulan sudah menjual rumah warisan orangtuanya? Untuk apa lagi dia datang ke desa lereng Gunung Merapi ini?
Dalam perbincangan itu, sesekali Wulan memandangi perut Laksmita yang hamil empat bulan. Wulan tampak sangat terpikat dengan kandungan Laksmita. Sesekali ia memandangi perut Laksmita yang membuncit.
Broto tak dapat menyembunyikan rasa kaget, melihat Wulan kembali mengunjungi padepokannya. Dua bulan lalu Wulan datang ke padepokan, menjual rumah warisan orangtuanya. Broto yang membeli rumah dan pekarangan itu.
Waktu itu Wulan meneguhkan pendiriannya untuk kembali ke ibu kota, meninggalkan adik perempuannya yang idiot di padepokan. Dia ingin mengembangkan bisnis yang mulai ditekuninya. Lalu, kenapa ia kembali ke padepokan? Apa yang ingin dilakukannya kini?
“Boleh aku tinggal di padepokanmu?” pinta Wulan.
Dengan pandangan bimbang, Broto menukas, “Untuk apa?”
“Belajar menari,” kata Wulan, bersungguh-sungguh. “Aku seorang penari di masa kecil. Tentu bakat itu masih lekat dalam diriku. Kau terima aku belajar menari?”
“Lalu, bagaimana dengan bisnismu?”
“Aku tinggalkan.”
Broto belum bisa memahami keputusan Wulan untuk kembali ke daerah kelahirannya di lereng Gunung Merapi untuk belajar menari. Ia memandangi istrinya, meminta pertimbangan. Laksmita tersenyum-senyum. Memendam rahasia. Wulan tersipu-sipu.