Kualitas Menjadi Penghambat Ekspor Kopi Sumsel

Direktur Eksekutif Bank Indonesia, Yunita Resmi Sari, memberikan paparan terkait kebijakan ekonomi di Palembang, Senin (13/1/2020) – Foto Ant

PALEMBANG – Kualitas kopi, hingga kini masih menjadi persoalan di Sumatera Selatan (Sumsel), sehingga daerah tersebut masih kesulitan untuk mengekspor komoditas tersebut.

Direktur Eksekutif Bank Indonesia (BI), Yunita Resmi Sari mengatakan, sebagian besar petani di Sumsel tidak menerapkan petik merah. Sehingga kualitas dari biji kopi menjadi rendah. “Ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Sumsel, tapi juga beberapa daerah di Indonesia, yakni ada masalah dari sisi kualitas,” kata dia, Senin (13/1/2020).

Sementara, komoditas kopi memiliki standar tertentu, agar layak diekspor ke luar negeri. Bukan hanya dari sisi kualitas, tapi juga dari sisi kuantitas, yakni adanya jaminan bahwa suplai akan berlangsung secara kontinyu atau berkelanjutan. “Persoalannya, jika permintaan tinggi terkadang terjadi penurunan kualitas,” tandasnya.

Oleh karena itu, para pemangku kepentingan sektor kopi hendaknya dapat membenahi sisi hulu ini, dengan mengedukasi para petani. Selain itu, di sisi hilir juga perlu diperhatikan seperti keberadaan infrastruktur penunjang untuk membangun industri kopi. “Hingga kini Sumsel belum memiliki pelabuhan laut. Jika ini sudah ada, bisa jadi daerah ini menjadi pionir untuk industri kopi, seperti yang sudah dilakukan Vietnam,” tandasnya.

Produktivitas petani kopi Sumsel masih rendah, jika dibandingkan daerah lain. Rata-rata produksi per tahun hanya 0,6 hingga 0,9 ton per hektare. Ketua Dewan Kopi Sumsel, Zain Ismed mengatakan, dengan produktivitas yang rendah tersebut petani kopi hanya meraup rata-rata pendapatan Rp900.000 per bulan. “Kenapa ini bisa terjadi, Vietnam saja produktivitas petaninya bisa 3 hingga 4 ton per hektare per tahunnya. Seharusnya ini menjadi perhatian semua pihak,” kata dia.

Lihat juga...