JAKARTA – Jaringan sel darah sangat penting tugasnya bagi tubuh, sebagai pembawa zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan.
Jika satu saja sel darah kurang atau berlebih, akan menyebabkan terganggunya oksigen dan zat yang memadai yang dibutuhkan tubuh, akan menyebabkan berbagai gangguan mulai dari cepat lelah, sesak napas, gangguan kognitif, bahkan hingga menjadi penyebab stroke, jantung, hingga emboli paru.
Dalam konteks pemerintahan daerah seperti DKI Jakarta, sel-sel darah tersebut merupakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menjadi pembawa program kerja sebagai oksigen dan zat-zat pentingnya.
Jika “darah” tersebut kurang, dipastikan DKI Jakarta akan mengalami kelelahan hingga sesak napas, karena banyak program kerja yang tidak berjalan.
Sementara jika kelebihan atau sangat besar, akan menjadi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebagai penumpukan dalam pembuluh darah yang bukan tidak mungkin berpotensi menjadi penyebab maraknya praktik KKN bagaikan penyakit stroke dan jantung tersebut.
APBD DKI Jakarta 2020, kini dalam posisi evaluasi Rancangan APBD (RAPBD) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), setelah dokumen itu disepakati Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta pada 11 Desember 2019, dengan nilai Rp87,95 triliun hasil dari pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI 2020.
Waktu penyerahan dokumen RAPBD tersebut, diketahui terlambat dari waktu yang ditentukan sesuai Permendagri Nomor 33 Tahun 2019, tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2020 yang mengamanatkan dokumen RAPBD paling lambat diserahkan ke Kemendagri pada 30 November 2019 untuk dievaluasi.