Perajin Parang di Keduwair-Sikka Butuh Bantuan Modal

Editor: Koko Triarko

“Kalau pengumpul yang menyediakan besinya, maka dijual Rp35 ribu sampai Rp40 ribu per buah. Uangnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kami merasa berat, sebab harus membayar biaya sekolah anak,” ujarnya.

Proses pembuatan parang, jelas Aloysius, besi dipanaskan di tungku batu menggunakan sabuk (serabut) kelapa agar besinya lebih cepat matang atau berwarna kemerahan.

Besi yang berwarna kemerahan tersebut diangkat menggunakan penjepit, lalu diletakan di paron atau besi alas untuk menempa. Seketika 3 orang lelaki dewasa menggunakan martil memukul lempengan besi tersebut hingga pipih.

“Sambil dipukul, besi tersebut dibolak-balik agar hasilnya sempurna. Besi tersebut bisa beberapa kali dipanaskan dan ditempa,” terngnya.

Setelah ditempa dan memiliki bentuk sesuai keinginan, parang yang sudah setengah jadi dan masih panas tersebut dimasukkan ke dalam batang pisang, yang diletakkan berdiri di tengah pondok atau bengkel kerja.

Dimasukan ke dalam batang pisang dan bukan dicelupkan di air, agar parang yang telah terbentuk tersebut tidak bengkok. Setelah itu, baru diratakan menggunakan martil.

“Setelah selesai, parang tersebut digerinda menggunakan gerinda listrik hingga tajam sesuai keinginan. Lalu, parang tersebut dipasangi cincin dan gagangnya, lalu siap dijual,” terangnya.

Ada 4 model atau jenis parang yang dibuat warga pandai besi atau perajin di dusun Keduwair, yakni Samurai, Soda, Kelewang dan Koli Bakut. Semuanya memiliki bentuk dan ukuran masing-masing.

Alyosius dan anggota kelompok lainnya berharap, agar pemerintah kabupaten membantu modal untuk membeli besi sebagai bahan baku. Juga bantuan peralatan.

Lihat juga...