Pada awalnya tahun 2006, bupati Aceh Tengah telah menerbitkan kontrak karya kepada PT LMR, dan pada 2009 perusahaan pertambangan tersebut mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Lalu di tahun yang sama perusahaan ini mendapatkan IUP eksplorasi dengan luas areal 98.143 hektare (ha), melalui Surat Keputusan Bupati Aceh Tengah No.530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009 tentang Peningkatan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT Linge Mineral Resources tertanggal 28 Desember 2009 semasa Bupati Nasaruddin.
Penerbitan izin itu sesuai surat permohonan dari PT LMR Nomor LMR/101/20/XII/2009 tanggal 9 Desember 2009. Namun WIUP yang diterbitkan terjadi penciutan menjadi sekitar 36.420 hektare.
“Penciutan area WIUP diduga dilakukan ketika LMR mengurus sertifikat ‘Clear and Clean (CnC)’, sehingga harus menciutkan 61.723 hektare akibat masuknya Taman Buru yang merupakan kawasan konservasi. Areal IUP eksplorasi menjadi 36.420 hektare berada di dua kecamatan, yakni Linge dan Bintang,” ujarnya.
Ia menerangkan, sesuai rencana analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 4 April 2019, luas areal PT LMR yang diusulkan menjadi 9.684 hektare berlokasi di proyek Abong meliputi empat desa di Kecamatan Linge, yakni Lumut, Linge, Owaq, dan Penarun dengan angka produksi maksimal 800.000 ton per tahun.
“LMR melakukan kegiatan pertambangan dan pengolahan bijih emas dan mineral pengikut. Data planologi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh menyebut dari luas 9.684 hektare, sekitar 7.678 hektare di antaranya di hutan produksi, sedangkan sisanya berada di APL. PT LMR berstatus penanaman modal asing yang merupakan anak perusahaan dari East Asia Mineral dari Canada selaku pemegang saham 80 persen,” tutur Nur.