Petani di Lamsel Kesulitan Air
Editor: Koko Triarko
Suwondo, petani lain, juga mengalam hal yang sama. Lokasi lahan sawah yang lebih tinggi dari saluran irigasi membuat ia harus memanfaatkan mesin pompa, untuk mengalirkan air ke lokasi yang lebih tinggi saat lahan sawah mengalami kekeringan. Memasuki masa penyiangan gulma dan pemupukan pertama, kebutuhan air disebutnya sangat vital.
“Proses penyiangan gulma, kondisi sawah harus berlumpur agar rumput mudah dicabut, sementara saat pemupukan memudahkan penyerapan pupuk,” ungkap Suwondo.
Menggunakan mesin pompa, membuat ia harus mengeluarkan biaya ekstra. Biaya tersebut untuk membeli bahan bakar premium. Selama lima jam proses memompa ai, ia harus mengeluarkan Rp50.000 dengan harga premium rata-rata Rp10.000 per liter.
Meski sebagian petani menggunakan bahan bakar elpiji, namun alat konversi yang belum dipasang membuat ia masih memakai bahan baku premium.
Usai proses penggenangan air pada lahan sawah, dua hari berikutnya proses pembersihan gulma akan dilakukan. Namun, lahan yang berbatu membuat ia sulit menggunakan alat sosrok untuk pembersihan gulma rumput.
Sebagai solusi yang lebih murah, ia menggunakan buruh matun untuk pembersihan gulma. Setelah proses pembersihan gulma, pemupukan tahap pertama akan dilakukan agar pertumbuhan tanaman padi maksimal.
“Saat tanaman padi sudah dibersihkan dari gulma, pemupukan dilakukan, sekaligus pemberian pupuk cair agar daun lebat,” tutur Suwondo.
Suwondo menyebut, sebagian petak sawah miliknya yang terlambat mendapat pasokan air mulai kering. Sejumlah petak sawah dengan tanah yang mulai retak diakuinya membutuhkan penggenangan air lebih lama.
Penggenangan air yang lebih lama akibatkan air meresap ke celah tanah yang sudah merekah. Belum adanya fasilitas sumur bor membuat petani memilih berbagi air dari siring alam yang debitnya mulai menyusut.