Akademisi: RUU PKS Kebutuhan Mendesak, Segera Disahkan
Untuk itu, RUU PKS ini menginventarisasi sembilan jenis KS yakni pelecehan seksual, eksploiotasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Ini dalam rangka harus ada kepastian hukum dan keadilan bagi para korban KS.
“Bagi saya, RUU PKS memberi jalan bagi siapapun itu baik individu, lembaga negara/swasta maupun korporasi agar saling menghargai dan menghormati antar sesama laki-laki atau perempuan khususnya perempuan yang rentan akan KS karena tidak bisa dinafikkan budaya kita masih erat dengan budaya patriarkhi dengan relasi kuasanya, sehingga ketika terjadi KS maka perempuan sebagai korban yang sering disalahkan (viktimisasi korban),” tegasnya.
Oleh karenanya, lanjut Ketua PC ISNU Kota Blitar, hal ini tidak bisa dibiarkan, karena semua orang harus diperlakukan sama (egaliter) dalam hukum dan pemenuhan hak-haknya sembari mencontohkan kalau ingin melakukan program pembatasan/jarak untuk memperoleh keturunan, maka janganlah melakukan pemaksaan kontrasepsi bahkan aborsi, tapi harus ada persetujuan kedua belah pihak, jika hanya sepihak saja maka hal tersebut dapat dimaknai dengan pemaksaan.
RUU PKS juga dinilai menarik karena menawarkan pentingnya pendidikan dan kurikulum tentang reproduksi sejak dini sebagai langkah pencegahan. juga adanya tindak pidana rehabilitasi khusus bagi pelaku pelecehan seksual bagi langkah penyadaran tidak berorientasi pada pidana penjara saja, sehingga ini juga bisa sebagai alternatif jawaban atas kebiri kimia yang kontorversi saat ini.
“Saya berharap RUU PKS ini segera disahkan karena sudah masuk prolegnas sejak tahun 2016, sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang benar maka RUU PKS ini sebelum masa periode DPR habis seyogyanya disahkan,” tandas penulis buku ‘Sosiologi Hukum & Gender’ yang turut mendaftar sebagai calon komisioner Komnas Perempuan ini, memungkasi. (Hid)