Garam Tradisional Petani Flotim Tetap Diminati
Editor: Koko Triarko
Maria Barek Maran, menambahkan, memasak garam biasa dilakukan saat bulan Mei atau Juni hingga November. Memasak garam dilakukan saat cuaca panas atau tidak terjadi hujan.
“Harus cuacanya panas, sebab untuk mengeringkan air laut di tanah harus cuacanya panas. Makanya, saat musim hujan kami tidak memasak garam dan membantu suami bekerja di kebun,” ungkapnya.
Dalam satu musim memasak garam, kata Maria, setiap anggota kelompok bisa mendapatkan pemasukan dalam sebulan minimal Rp1 juta. Meskipun tidak seberapa, namun uang tersebut sangat berarti bagi para peempuan ini.
“Memang pendapatan yang kami terima kecil sekali, tetapi lumayan untuk membantu keuangan keluarga dan membiayai anak sekolah. Lagi pula daripada kami hanya duduk santai di rumah,lebih baik kami bekerja,” ungkapnya.
Kelompoknya pun, kata Maria, belum mendapatkan bantuan pemerintah. Namun, pihaknya tidak terlalu berharap, karena sepertinya garam tradisional produksi mereka tidak terlalu laku terjual.
Maci Diaz, warga Larantuka, mengaku sering membeli garam tradisional untuk mengawetkan ikan. Saat musim ikan, dirinya harus membeli hingga Rp50.000 untuk mengeringkan ikan.
“Saya sering beli untuk mengawetkan ikan, sebab harganya murah. Memang, warnanya tidak terlalu putih bersih dan bukan garam yodium, sehingga jarang digunakan untuk memasak,” tuturnya.