MA Persilakan Baiq Nuril Ajukan Grasi ke Presiden

Editor: Koko Triarko

Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro -Foto: M Hajoran

JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) mempersilahkan Terdakwa Baiq Nuril untuk mengajukan grasi atau amnesti kepada Presiden atas ditolaknya Peninjauan Kembali (PK) oleh MA, atas kasus tindak pidana terkait UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE), dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp500 juta, subsider 2 bulan kurungan.

“Perlu saya jelaskan, dalam Pasal 14 UUD 1945 dinyatakan, bahwa permohonan grasi dan rehabilitasi dapat diajukan ke Presiden selaku kepala negara. Presiden sebelum memutuskan, perlu mendengar pertimbangan atau pendapat Mahkamah Agung,” kata Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro, saat jumpa pers di Gedung MA, Senin (8/7/2019).

Selain mengajukan grasi dan rehabilitasi kepada Presiden, Baik Nuril juga punya kesempatan untuk mengajukan permohonan amnesti dan abolosi kepada Presiden. Namun, sebelum memutuskan akan mengabulkan atau menolak, tentu terlebih dulu mendengar atau memperhatikan dari DPR.

“Jadi, bukan MA. Kalau grasi dan rehabilitasi MA diminta pertimbangan oleh Presiden ke MA, tapi kalau permohonan amnesti dan abolisi yang memberi pendapat sebelum presiden memutuskan adalah Dewan Perwakilan Rakyat,” jelasnya.

Sementara itu, terkait adanya sinyalemen dari Ombudsman dugaan maladministrasi oleh MA atas putusan tersebut, Andi menyebutkan, bahwa hal itu tidak relevan dan tidak berdasar. Memang, MA memang mengeluarkan Perma 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.

“Perlu juga dijelaskan mengenai adanya sinyalemen dari Ombudsman. Sebagai pemahaman, MA ini tentu dikatakan disinyalir maladministrasi. Saya menyatakan itu tidak relevan dan tidak berdasar. Apa yang dimaksud perempuan berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, sebagai korban, saksi, atau pihak,” ungkapnya.

Lihat juga...