Larangan Koruptor Ikut Pilkada Semestinya Diatur UU
JAKARTA – Larangan bagi mantan koruptor untuk mengikuti ajang pemilihan kepala daerah, semestinya diatur di dalam undang-undang. Keberadaanya bisa dilakukan dengan merevisi UU Pilkada.
Aturan tersebut tidak bisa hanya dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU). “Intinya, harus ada perubahan undang-undang. Kalau menurut saya, untuk tujuan baik ngapain harus ditunda-tunda,” ujar Komisioner KPU RI, Hasyim Asy’ari, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Apabila revisi harus menunggu pergantian anggota DPR yang baru dilantik pada Oktober 2018, menurut Dia, masih cukup waktu untuk menyambut pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. “Semuanya masih memungkinkan, kalau ada niat baik,” tandas Hasyim.
Jika mau lebih cepat, masyarakat dapat mengajukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Pilkada, mengenai syarat calon ke Mahkamah Konstitusi. Alternatif itu dapat dilakukan, apabila terdapat pihak berkepentingan yang menginginkan pemimpin baik lalu mengajukan pengujian Undang-Undang Pilkada ke MK, walaupun dulu sudah pernah divonis.

“Tapi berdasarkan perkembangan, siapa tahu pertimbangannya berubah, ada pertimbangan baru,” kata Hasyim.
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menilai, usulan yang sebelumnya disebutkan KPK agar mantan narapidana koruptor tidak dapat mencalonkan diri kembali, masih sangat terbuka untuk mendapatkan masukan dari semua pihak.
Mengenai rekam jejak, Tjahjo memberikan contoh kasus Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Hal tersebut memperlihatkan masyarakat luput memilih calon yang ternyata akhirnya dua kali terlibat korupsi. “Kayak kasus Kudus. Kan banyak orang yang nggak tahu. Di jabatan yang sama, ada masalah yang sama, tapi kok Dia lolos dari verifikasi KPU, dari parpol yang mencalonkan,” pungkas Tjahjo. (Ant)