Peneliti: Masyarakat Asia Paling Berisiko Terkena Pencemaran Udara
Editor: Koko Triarko
Muhayatun menyebutkan, data dan riset PM-2,5 di Indonesia sangat terbatas, untuk itulah perlu dilakukan pemantauan dan studi komprehensif.
BATAN bersama Kementerian Lingkungan Hidup melakukan penelitian kualitas udara di 16 kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Palangka Raya, Balikpapan, Makassar, Manado, Ambon, Jayapura, Mataram dan Denpasar, dengan menggunakan Teknik Analisis Nuklir (TAN). Untuk menentukan komposisi kimia pada partikulat udara hingga ukuran yang lebih kecil dari ukuran yang biasa diteliti.
“TAN merupakan satu-satunya metode karakterisasi partikulat udara yang unik, karena memiliki kemampuan mendeteksi secara simultan, cepat, selektif, sensitif, tidak merusak, dan memiliki limit deteksi orde nanogram, bahkan pikogram,” kata Muhayatun.
Salah satu parameter penting yang menjadi fokus riset ini adalah pemantauan pencemaran logam berat, khususnya Timbal (Pb) pada PM-2,5. Logam Pb yang terdapat di udara, jika terhisap dan terakumulasi hingga 10 ug/dL pada seorang anak, dapat mengakibatkan menurunnya tingkat intelegensia, learning disability, mengalami gejala anemia, hambatan dalam pertumbuhan, perkembangan kognitif buruk, sistem kekebalan tubuh yang lemah dan gejala autis.
Program pemerintah penggunaan bensin tanpa timbal yang diberlakukan sejak Juli 2006, sangat baik bagi lingkungan. Ia mengakui, program ini memberi dampak signifikan terhadap menurunnya rerata konsentrasi logam timbal di Kota Bandung.
Muhayatun menjelaskan, hasil ini tidak diikuti oleh kota lainnya di Indonesia. Kadar logam berat Pb pada PM-2,5 dan PM-10 di beberapa kota masih relatif tinggi. Konsentrasi Pb di lokasi sampling Tangerang dan Surabaya, lebih tinggi ketimbang 14 kota lainnya, meskipun masih berada di bawah rerata baku mutu yang ditetapkan berdasarkan PP 41 Tahun 1999.