JAKARTA — Koalisi sejumlah aktivis hukum yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Untuk Selamatkan MK, mempertanyakan jangka waktu seleksi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang hanya memakan waktu lima hari kerja.
“Dalam sejarah seleksi hakim MK yang dilakukan secara terbuka dari ketiga lembaga negara pengusul (DPR, Presiden, dan MA), baru kali ini jangka waktu seleksi dilakukan dengan sangat pendek yaitu hari kerja,” ujar peneliti Indonesian Legal Rountable, Erwin Natosmal Oemar, melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (5/2/2019).
Erwin mengatakan hal tersebut mewakili koalisi pegiat dan aktivis hukum tersebut. Jangka waktu yang sangat pendek dinilai para aktivis hukum, akan menimbulkan satu persoalan yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas hakim konstitusi yang terpilih.
Minimnya waktu yang dibuka oleh DPR tersebut, dikatakan akan membuat akses untuk mendapatkan calon yang berkualitas menjadi tertutup. “Karena banyak orang-orang baik dan berkompeten tidak dapat menyiapkan berkas yang dibutuhkan dengan waktu yang sangat sempit,” ujar Erwin.
Selain itu, Erwin menyebutkan hingga saat ini publik belum mendapat informasi dan gambaran tentang siapa saja panel ahli yang diminta oleh DPR.
Erwin mengatakan bahwa koalisi aktivis hukum mengapresiasi DPR yang menggunakan panel ahli sebagai salah satu preseden ketatanegaraan yang positif.
“Kendati demikian, tanpa mengetahui siapa dan apa kategori panel ahli yang ditunjuk membuat proses seleksi berpotensi melanggar prinsip transparansi dan partisipasi sebagaimana yang dimaksud oleh UU MK, sebagai persyaratan utama dilakukannya seleksi hakim,” tambah Erwin.