Ahli: Aturan Sanksi bagi ASN Berikan Kepastian Hukum

Editor: Makmun Hidayat

Tri Hayati, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia jadi Saksi Ahli dalam uji materil UU ASN di MK, Rabu (13/2/2019) - Foto: M. Hajoran Pulungan

Selain itu, Tri Hayati menjelaskan Pasal 87 ayat (2) UU ASN yang memberikan ruang diskresi pada PPK untuk memberhentikan PNS atau tidak memberhentikan PNS bukan merupakan sebuah masalah. Sebab, lanjutnya, tindakan diskresi tetap dilakukan sesuai koridor aturan yang ada.

“Tindakan diskresi mesti dilakukan sesuai Pasal 24 sampai 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ujarnya.

Sebelumnya, perkara diajukan oleh Hendrik. Kemudian, lima Pemohon mengajukan perkara lain, yaitu Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono.

Para Pemohon mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang mengatur tentang pemberhentian ASN. Pemohon yang pernah menjadi terpidana mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang.

Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik.

Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma pasal tersebut. Pemohon menyimpulkan, bahwa seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan “Asas Dapat Dilaksanakan”, “Asas Kejelasan Rumusan”, “Asas Keadilan”, “Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan”, dan “Asas Kepastian dan Kepastian Hukum”.

Lihat juga...