DPR: UU Telekomunikasi Beri Kepastian Hukum Peradilan Pidana
Editor: Koko Triarko
JAKARTA – Anggota DPR, Anwar Rachman, mengatakan, bahwa Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi telah memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam proses peradilan pidana, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
“Karena itu, Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, sama sekali tidak ada keterkaitan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Pemohon tidak memiliki hak melakukan pengujian terhadap pasal tersebut,” kata Anggota Komisi III DPR RI, Anwar Rachman, dalam sidang lanjutan uji materi UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, di Gedung MK, Jakarta, Senin (21/1/2019).
Menurutnya, bukti Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi yang diujikan Pemohon menyebutkan, “untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi, serta dapat memberikan informasi yang diperlukan, atas: permintaan tertulis Jaksa Agung dan/atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.”
Menurut Anwar, ketentuan pasal yang diuji Pemohon sama sekali tidak mengurangi hak dan kewenangan konstitusional Pemohon. Dalam hal kedudukan hukum Pemohon sebagai terdakwa, lanjut Anwar, hak-hak Pemohon sebagai terdakwa masih tetap dilindungi oleh negara.
“Pemohon tidak menjelaskan implikasi yang konkrit dan spesifik dengan berlakunya pasal tersebut. Dalil Pemohon hanya berupa asumsi.
“DPR berpendapat, tidak ada hak dan kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal yang diuji Pemohon,” jelasnya.