Belajar Seni Pahat Suku Asmat di Desa Seni TMII
Editor: Mahadeva

Adapun posisi setiap sosok dalam susunan patung Mbis, seperti orang setengah berjongkok. Setelah jadi, patung ini diberi warna hitam, putih dan merah. Warna dasarnya adalah putih sebagai lambang kesucian. Sedangkan warna hitam adalah lambang bumi dan merah yakni melambangkan manusia. “Butuh waktu satu minggu untuk membuat patung Mbis ini. Sebelumnya, kayu direndam dulu, baru dipahat atau diukir. Setelah jadi, patungnya dipendam dilumpur selama tiga hari, baru kemudian dipamerkan di Desa Seni,” ujar lelaki yang akrab disapa Bobi Wobiser tersebut.
Kekhasan pahatan atau ukiran suku Asmat terlihat pada pola yang unik dan natural. Dari pola ukiran, terlihat kerumitan cara membuatnya, sehingga membuat karya seni tersebut bernilai tinggi. Bagi masyarakat suku Asmat, seni pahat dan ukir adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kegiatannya telah dilakukan secara turun temurun dan sudah menjadi budaya. Kekhasan kreasi seninya, tidak hanya dikenal di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
Peminat seni yang membeli patung suku Asmat cukup banyak. Turis asing yang berkunjung ke Desa Seni TMII atau ke Papua, selalu membeli cinderamata ukir dalam berbagai ukuran. “Patung Mbis yang saya buat ini harganya sekitar Rp 3 juta. Ada saja yang membeli, biasanya penyuka seni,” ujar pria berusia 40 tahun tersebut.
Suleman belajar seni pahat dan ukir sejak usia 8 tahun. Dia belajar memahat dari ayahnya. Suleman merupakan anak pasangan ayah dari Papua dan ibu dari Betawi. Selain memahat, Dia juga belajar tari khas Papua, dan sering tampil bersama teman-teman pada acara upacara adat di Papua. Di 1992, Suleman hijrah ke Jakarta dan bekerja di Anjungan Papua TMII, di bidang seni. Ia kerap mewakili anjungan Papua tampil di acara HUT TMII, Karnaval Budaya, dan program TMII lainnya.