YMPS: Tolak Potensi Kebangkitan PKI

Editor: Satmoko Budi Santoso

Pertama, pihaknya mempertanyakan dasar hukum, syarat, ketentuan, prosedur, dan tata cara untuk mendapatkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM Berat (SKKPH), sehingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) mengeluarkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM Berat (SKKPH) yang diatur berdasarkan ketentuan Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor: 001A/PER.KOMNAS HAM/II/2014 Tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Korban dan/atau Keluarga Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Padahal, secara hukum negara, pada kurun tahun 1965-1966 di Indonesia, justru terjadi peristiwa berdarah berupa pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal dalam sejarah sebagai Gerakan 30 S/PKI.

Jika SKKPH merujuk peristiwa pemberontakan PKI, maka  pelaku kejahatan HAM adalah para pemberontak yang berhimpun pada Partai Komunis Indonesia beserta seluruh underbouw-nya. Sementara, korban atau keluarga korban adalah rakyat sipil dan militer yang terdiri dari para jenderal, kiai, prajurit, dan rakyat biasa. Khususnya umat Islam yang terhimpun dalam berbagai organisasi massa, yang saat itu melakukan perlawanan (khususnya NU dan Ansor).

Bahkan, saat itu, kejahatan HAM PKI dan anggotanya sudah terbukti melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) dan menjadi sumber hukum resmi negara, saat itu.

“Ketika kami melakukan kajian atas SKKPH 1965-1966 oleh Komnas HAM, terlihat sekali Komnas HAM sangat longgar dan tidak dapat menjamin substansi materiil dari definisi atau mewakili sebagai korban yang sesungguhnya.

Kami melihat, SKKPH dikeluarkan tidak membutuhkan ketetapan pengadilan, bahkan tanpa proses pembuktian di persidangan terbuka untuk umum. Sehingga, SKKPH hanya dikeluarkan berdasarkan pengakuan dan keterangan saksi sepihak.

Lihat juga...