Reklamasi Alami Dorong Warga Lestarikan Pantai Minang Rua  

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Pantai putih bersih terhampar dengan pemandangan ke arah pantai Selat Sunda, tersaji menakjubkan. Hamparan pantai yang dikenal dengan pantai Minang Rua tersebut empat tahun sebelumnya merupakan laut. Proses reklamasi alami membuat pantai tersebut memiliki daratan pasir yang lebih luas dibanding sebelumnya.
Demikian kata Mian, warga Dusun Minang Rua, Desa Kelawi, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan. Menurutnya, empat tahun sebelumnya, jarak rumah miliknya dengan pantai hanya sekitar lima meter.
Setelah ada proyek pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS) ruas Bakauheni-Terbanggibesar pada 2014, material pasir, padas, kerikil terbawa arus melalui sungai Kepayang dan Kubang Gajah. Sungai sepanjang tujuh kilometer tersebut mengalir dari STA 05 JTTS dan sejumlah sungai kecil lain dari STA 03 membawa material pasir.
Secara berangsur dan alami, jarak antara perumahan warga dan laut semakin jauh, akibat proses reklamasi alami. Jutaan kubik pasir, kata Mian, perlahan menambah luas daratan di wilayah hampir seluas empat hektare lebih.
Mian, anggota Pokdarwis Minang Rua Bahari menanam pohon waru laut serta berbagai jenis tanaman lain sebagai upaya penghijauan di pantai Minang Rua -Foto: Henk Widi
Ia menyebut, reklamasi umumnya merupakan kegiatan menambah luas daratan untuk suatu kegiatan yang sesuai di wilayah tertentu, untuk keperluan konservasi wilayah pantai.
Reklamasi alami selama empat tahun selanjutnya dikelola oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Minang Rua Bahari, sebagai objek wisata bahari berbasis lingkungan.
“Abrasi pantai selama puluhan tahun memang membuat pondasi rumah hancur, sejumlah pohon tumbang. Namun atas kuasa alam, pengembalian kondisi pantai seperti semula terjadi dengan adanya kiriman pasir dari proses pembangunan jalan tol,” terang Mian, yang juga anggota Pokdarwis Minang Rua Bahari, Rabu (14/11/2018).
Mian menyebutkan, kawasan pantai Minang Rua awalnya merupakan kawasan dengan kontur pantai berbatu karang. Akibat abrasi dan erosi oleh angin dan gelombang, sejumlah pohon penahan tanah berupa pohon Ketapang, Pandan Laut, Mutun, Waru Laut, Kelapa dan berbagai jenis tanaman pesisir pantai lainnya mengalami kerusakan, terutama saat musim angin barat dengan angin dan gelombang tinggi.
Menurut Mian, volume pasir yang terbawa arus sungai, awalnya hanya selebar dua meter memanjang di pantai tersebut. Melalui proses panjang, muara sungai Kepayang tertutup oleh pasir yang memiliki lebar lebih dari sepuluh meter.
Selanjutnya aliran sungai berbelok menuju ke timur membentuk sebuah laguna. Imbas aliran air sungai yang berubah volume pasir yang dialirkan sungai semakin bertambah, membuat proses reklamasi alami terus berjalan.
Hingga menjelang akhir 2018, proses reklamasi alami diperkirakan Mian sudah menimbun pesisir pantai dengan kedalaman lebih dari 10 meter, sepanjang lebih dari 1.000 meter.
Pergerakan ombak ke pantai sekaligus banjir dari arah sungai membuat persebaran pasir merata, sehingga menciptakan daratan seperti sebuah reklamasi mempergunakan alat, padahal proses tersebut terjadi alamiah.
“Setelah daratan pasir menjadi lebih luas, Pokdarwis sebagai pengelola pantai semakin berkembang, ada kesepakatan bersama warga untuk menjadikan kawasan pantai sebagai kawasan konservasi sekaligus wisata bahari,” beber Mian.
Sejumlah tanaman perdu pantai yang rusak, kembali tumbuh secara alami, seperti Kelapa, Ketapang, Pandan Laut serta berbagai tanaman lain.
Upaya konservasi juga mulai menjadi perhatian sejumlah pihak, mulai dari organisasi pecinta alam, lembaga pendidikan, pegiat wisata sekaligus kesadaran warga.
“Pokdarwis merasakan manfaat keberadaan tanaman yang tumbuh alami dan mulai melakukan penambahan tanaman di sekitar pantai,” kata Mian.
Ratusan tukik atau anak penyu hijau dan penyu belimbing ditangkarkan di pantai Minang Rua yang kerap menjadi lokasi bertelur sejumlah penyu -Foto: Henk Widi
Sejumlah tanaman konservasi, di antaranya Sirsak, Cemara Laut, Ketapang Kencana hingga tanaman endemik wilayah setempat berupa Waru Laut dan Pandan Laut, juga dikembangkan. Tibanya musim penghujan, mendorong pertumbuhan sejumlah tanaman di wilayah tersebut.
Sejumlah pohon sekaligus menjadi penahan abrasi serta menjadi pagar alami, saat terjadi angin kencang melanda wilayah tersebut. Karenanya, Mian menyebut penambahan tanaman konservasi terus akan dilakukan secara bertahap.
Anugerah reklamasi alami dengan material pasir dari daratan ke pantai, juga dikatakan oleh Edi Nuryadi. Anggota Pokdarwis yang diberi tanggungjawab kebersihan lingkungan pantai Minang Rua tersebut mengaku, mengalami persis kondisi pantai tersebut lima tahun sebelumnya.
Jarak antara pantai dan daratan yang kini lebih jauh merupakan suksesi alami yang memiliki dampak positif. Mendapat kiriman pasir dalam jumlah jutaan kubik, bahkan lebih, tanpa menggunakan alat berat diperkirakannya telah menghemat miliaran rupiah.
“Bayangkan saja jika reklamasi untuk konservasi dikerjakan dengan alat berat, berapa biaya dibutuhkan? Tapi, anugerah reklamasi alami dimanfaatkan warga untuk pemberdayaan ekonomi dan konservasi,” beber Edi Nuryadi.
Dampak positif lain dari reklamasi alami dengan dominasi material pasir di pantai Minang Rua, juga terjadi ekosistem pantai.
Ia menyebut, setelah puluhan tahun pantai tersebut tidak didatangi penyu, sejumlah penyu, di antaranya penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Lokasi pasir disebutnya menjadi lokasi bertelur pada bulan Mei hingga Agustus. Sebagian telur diselamatkan dan ditetaskan di lokasi penangkaran.
Lokasi penangkaran penyu, kata Edi Nuryadi, kini telah dilengkapi dengan rumah tunggu, kolam penangkaran yang dikondisikan seperti habitat alami.
Sejumlah pohon konservasi di dekat lokasi penangkaran penyu sekaligus menambah suasana seperti habitat alami. Kini, sekitar ratusan anakan penyu atau tukik sedang dalam proses pembesaran untuk dilepasliarkan saat sudah siap hidup secara alami di alam bebas.
Rencananya, pada Desember atau awal tahun depan, tukik akan dilepasliarkan untuk menjaga kelestarian penyu yang terancam kepunahannya tersebut.
Edi Nuryadi menyebut, reklamasi pantai secara alami telah memberikan dampak positif di segala sektor.
Sektor wisata berkembang menjadi sumber ekonomi warga melalui Pokdarwis, ekosistem pantai secara alami dan dikembangkan warga melalui penanaman pohon, sukses menghijaukan kawasan pantai, penyu mendapatkan habitat alami untuk bertelur, dan warga tidak kuatir terimbas abrasi dengan semakin suburnya pohon penahan di sepanjang bibir pantai.
“Warga akan terus melakukan penambahan pohon di kawasan pantai, untuk menjaga kelestarian pantai yang bisa menjadi lokasi mengamati Gunung Anak Krakatau tersebut,” pungkasnya.
Lihat juga...