Petrokimia Gresik, Keputusan Strategis Pak Harto Menuju Swasembada
Oleh: Mahpudi, MT
Catatan Redaksi:
Dalam catatan Incognito Pak Harto seri ke-30 yang kami turunkan ini, redaksi Cendana News selain menurunkan sejumlah tulisan dan liputan berbagai acara, juga menampilkan berbagai aktivitas. Salah satunya, catatan ekspedisi Incognito Pak Harto pada 2012.
Ekspedisi yang dilakukan oleh sebuah tim dari YHK, terdiri dari Mahpudi (penulis), Bakarudin (jurnalis), Lutfi (filatelis), Gunawan (kurator museum), serta salah satu saksi sejarah peristiwa itu, yaitu Subianto (teknisi kendaraan pada saat incognito dilaksanakan).
Meski sudah cukup lampau ekspedisi itu dilakukan, dan hasilnya pun sudah diterbitkan dalam buku berjudul Incognito Pak Harto –Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya (2013), dan Incognito – The President Impromptu Visit (2013), serta Ekspedisi Incognito Pak Harto –Napak Tilas Perjalanan Diam-Diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya (2013), namun hemat kami catatan ekspedisi yang ditulis oleh Mahpudi dalam beberapa bagian ini tetap menarik untuk disimak.
Sebab, seperti disimpulkan oleh penulisnya, peristiwa blusukan ala Pak Harto yang terjadi pada 1970 ini sangat patut dijadikan salah satu tonggak sejarah nasional Indonesia.
Selamat Membaca.
Usai mengunjungi KAREB di kota Bojonegoro, Tim Ekspedisi Incognito Pak Harto melanjutkan perjalanan ke arah timur, pada 8 Juni 2012. Tujuan kami berikutnya, kota Gresik. Kendaraan mobil Hi-Ace yang kami tumpangi menyusuri jalan sejauh 94 kilometer.
Jalan yang kami lalui, sudah sangat lancar, karena dilapisi aspal. Namun, jalan yang dilalui Pak Harto, saat itu, jangan dibayangkan jalannya mulus seperti jalan yang kami lalui pada 2012. Sebagaimana foto dokumentasi yang kami bawa, terlihat jalanan yang dilalui Pak Harto pada 1970, di beberapa tempat dalam perbaikan.
Kondisi jalan yang sulit ketika dilalui Pak Harto, juga diaminkan oleh Pak Subianto (teknisi kendaraan Pak Harto semasa Incognito dilakukan pada 1970) juga ikut dalam perjalanan ekspedisi kali ini. Bahkan, Pak Bi, demikian panggilan akrab beliau, bertutur, ”kami terpaksa berhenti beberapa kali untuk mengibaskan debu yang kerap menutupi kaca depan, dan bahkan tubuh.”
Dari foto yang kami bawa, Pak Harto beristirahat di daerah Sukowati. Tepatnya di kebun pembibitan buah-buahan, di luar kota Bojonegoro, arah menuju Lamongan. Ternyata, Pak Harto tak hanya beristirahat menikmati santapan perbekalan. Pak Harto juga menemui warga yang datang mencari tahu siapa tamu di daerahnya.

Sebagaimana yang dilakukan di tempat-tempat lain, selain mendengar keluh kesah rakyatnya, Pak Harto memberikan cinderamata kepada khalayak luas. Menurut penuturan Pak Bi, Pak Harto biasa memberikan kain batik kepada masyarakat yang ditemui.
Ketika rombongan tim ekspedisi Incognito tiba di Sukowati, kami berusaha mencari tahu lokasi kebon pembibitan dimaksud. Puji syukur, lokasi itu berhasil ditemukan, yaitu berada di sisi jalan utama Bojonegoro-Lamongan.
Sebuah papan nama yang sudah lapuk, menunjukkan, bahwa lokasi itu memang kebun pemibibitan. Sedangkan bangunan yang ditengarai sebagai tempat Pak Harto singgah, ketika kami cocokkan dengan foto dokumentasi yang kami bawa, sudah tak dihuni dan tak terurus. Padahal, hari sudah menjelang senja. Sehingga, tak banyak informasi yang bisa kami dapatkan dari lokasi ini. Pada akhirnya, tim Ekspedisi Incognito memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Gresik.
Beruntung, saya memiliki sahabat lama yang tinggal di Gresik. Farid Zanki, demikian nama sahabat masa SMA di Sindanglaut, Cirebon pada 1984. Ia kini menetap bersama keluarganya di kota berjuluk Kota Pudak (nama yang diambil dari sejenis panganan khas setempat).
Saya berhasil melakukan kontak dengannya. Mengingat perjalanan diperkirakan tiba di kota Gresik pada larut malam, saya meminta bantuan Farid untuk mencarikan hotel untuk melepas penat malam hari. Dan, kami bersyukur, Farid berhasil mendapatkan penginapan yang kami kehendaki. Tak hanya itu, Farid mengantar kami ke rumah makan yang masih buka hingga dua puluh empat jam di kota itu.
Sementara itu, menurut informasi yang kami peroleh, rombongan incognito Pak Harto, saat itu, tiba di kota Gresik pada sore hari, 24 Juli 1970. Mereka menginap di sebuah komplek Mess proyek, yang tiada lain adalah Proyek Petrokimia Surabaya.
Ketika kami memperlihatkan foto-foto itu kepada Farid, ia langsung menukas, “Oh…rumah-rumah itu masih ada.”
“Itu ada di komplek perumahan dalam Kawasan Petrokimia Gresik,” terangnya lagi.
Aha..akhirnya kami paham. Ternyata, kunjungan Pak Harto ke Gresik, terkait dengan pembangunan Proyek Petrokimia Surabaya.
Keesokan harinya, pada 9 Juni 2012, dengan dipandu oleh Farid dan Mona, istrinya, rombongan kami mengunjungi komplek perumahan dimaksud. Betapa terkejutnya kami, ketika menyaksikan salah satu rumah di komplek itu, ternyata sangat mirip dengan yang ada di foto dokumentasi. Dengan seizin petugas setempat, kami bertandang ke dalam rumah tersebut.
Rupanya, rumah itu telah diubah menjadi wisma tamu dengan nama Wisma Lilium. Para tamu perusahaan biasanya diinapkan. Bagian interiornya pun tak banyak berubah.
Yang menarik ketika kami bertandang ke Wisma Lilium, di dalamnya tengah ada sekolompok orang yang sedang bekerja. Ternyata, mereka adalah tim penyusun buku sejarah Perusahaan Petrokimia Gresik. Mereka sedang melakukan konsinyeering guna, menyempurnakan buku itu.
Dan, betapa kagetnya mereka ketika kami perlihatkan foto-foto incognito Pak Harto yang sedang berkunjung ke lokasi proyek petrokimia. Bagi mereka, ini merupakan catatan sejarah berharga dan dapat melengkapi buku yang sedang mereka susun.
Memang, dalam konsep pembangunan Pak Harto, saat itu, sedang fokus pada peningkatan kedaulatan pangan melalui revolusi di bidang pertanian. Dalam kebijakan Pak Harto tersebut, menghadirkan industri pupuk, menjadi suatu keharusan.
Saat itu, Pak Harto meneruskan sejumlah proyek-proyek pembangunan terkait industri. Bahkan, pembangunan sarana pendukung pertanian pun dijalankan Pak Harto, misalnya merehabilitasi saluran irigasi di sejumlah wilayah, meneruskan pembangunan Waduk Jatiluhur di Jawa Barat, termasuk penyelesaian Proyek Petrokimia Surabaya.
