Wahyu Suherman, penjaga pameran di depan lukisan yang dipamerkan –Foto: Akhmad Sekhu
JAKARTA – Galeri Nasional Indonesia, menggelar Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional “Menyigi Masa”, pada 10-28 Oktober 2018. Pameran ini didukung oleh Museum Aceh, Dewan Kesenian Jakarta dan Museum Kesejarahan Jakarta. Sebuah pameran yang menampilkan karya-karya koleksi negara hasil olah artitisk para perupa Indonesia yang dikelola dan dikoleksi oleh lembaga/instansi yang berada di seluruh wilayah Indonesia.
“Menyigi itu kalau didefinisikan seperti investigasi, jadi pameran ini membelah masa periode-periode sejarah seni rupa Indonesia,“ kata Wahyu Suherman, penjaga pameran, kepada Cendana News, di Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional “Menyigi Masa”, Galeri Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Wahyu membeberkan, dalam seni rupa banyak periodenya, mulai dari periode perintis yang perkembangannya diawali oleh pelukis Raden Saleh. “Kemudian, periode Mooi Indie, Periode PERSAGI, Periode pendudukan Jepang, hingga Periode pascakemerdekaan,“ bebernya.
Pameran ini, kata Wahyu, terdiri dari lukisan, patung, dan grafis dengan menampilkan 61 karya dari 41 maestro perupa Indonesia. “Seperti Affandi, Ahmad Sadali, Bagong Kussudiardja, Fadjar Sidik, Henk Ngantung, Nunung WS, Nyoman Gunarsa, Popo Iskandar, Raden Saleh, Rusli, Srihadi Soedarsono, Sudarso, Sunaryo, Wardoyo, Zaini, dan lain-lain,“ paparnya.
Wahyu menyampaikan, bahwa pameran ini juga membedah secara teknis dalam karya seni rupa Indonesia. “Ada yang melukis dengan teknik plakat, teknik dengan cat minyak, teknik basah, teknik kering, sampai teknik campran,“ urainya.
Menurut Wahyu, dari semua karya lukisan dalam pameran ini, lukisan Raden Saleh yang tertua, yaitu potret Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, Jean Chrétien Baud dan Pieter Mijer.
“Jean Chrétien Baud adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang mendapatkan tongkat Pangeran Diponegoro, yang kemudian dibawa ke Belanda. Tapi pada 2005, dikembalikan ke anak cucunya Pangeran Diponegoro,“ ungkapnya.
Wahyu menyayangkan. kondisi lukisannya bolong-bolong dimakan kutu. “Lukisan ini disimpan di Museum Fatahillah, Jakarta Kota,“ ujarnya.
Wahyu menyebut, untuk memelihara lukisan dibutuhkan kemampuan khusus. Bahwa, karya lukis juga perlu dipelihara, khususnya lukisan dari cat minyak, agar tahan lama dan tidak rusak keindahannya.
“Seperti memilih ruangan yang tepat, dengan pencahayaan ruangan cukup terang, tapi hindari menempatkannya di ruangan yang terkena paparan sinar matahari langsung,“ tuturnya.
Jika lukisan sampai terkena kotoran serangga, kata Wahyu, warnanya bisa menguning, bahkan bisa rusak, jadi sebaiknya langsung bungkus dengan plastik dan bawa ke ahli lukisan atau pemilik toko lukisan, agar ditangani atau diperbaiki dengan benar.
“Jangan pernah mencoba membetulkannya sendiri, tapi serahkan pada ahlinya yang memang bisa merawat lukisan dengan baik dan benar,“ tegasnya.
Wahyu berharap, pameran ini memberi inspirasi pada masyarakat untuk tidak hanya melihat saja dengan foto-foto saja.
“Tapi juga lebih memahami karya maestro seni rupa Indonesia yang memang patut kita apresiasi, karena kemampuannya yang luar biasa dan karyanya mengharumkan nama Indonesia dalam sejarah seni rupa dunia,“ pungkasnya.