Yang Masih Dicekam Gelap di Tepi Kemusuk
OLEH THOWAF ZUHARON

Digester yang dimaksud Sri adalah tangki reaktor biogas terbuat dari fiberglas kedap air, ringan, dan kuat dengan posisi ditanam dalam tanah. Meski hanya kubahnya yang terlihat, namun ukuran tinggi aslinya adalah 2 meter lebih dengan volume sekitar 4 meter kubik. Bagi Sri, Biogas dari limbah ternak sangat mudah dikembangkan. Ternaknya juga dapat dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari.
Dalam digester biogas, kotoran ternak diubah menjadi gas biru tidak berbau. Bahkan, bukan hanya menjadi gas, limbahnya juga dapat dipergunakan sebagai pupuk cair maupun pupuk padat yang unsur-unsur senyawanya tidak tergantikan oleh pupuk kimia. “Hanya dengan kotoran dari dua sapi yang seberat 40 kg setiap hari, ketika ditampung dalam digester biogas, bisa diolah dengan alat saya menjadi listrik 1.000 watt untuk kebutuhan rumah tangga. Biaya instalasi dan pemenuhan pengadaan alatnya hanya butuh biaya 27 juta rupiah,” jelas Sri Wahyuni.
Percontohan yang saya buat ini, menurut Sri, sangat memungkinkan untuk dikembangkan di seluruh Indonesia. Terlebih pedesaan, daerah terpencil, atau pulau terluar Indonesia. Bagi mereka yang tidak memiliki ternak, sampah rumah tangga yang selama ini kita anggap tidak berguna, baik organik maupun anorganik, merupakan sumber energi biogas yang bisa diberdayakan. Limbah pertanian seperti jerami atau eceng gondok pun dapat dijadikan biogas. Ampas tahu, bungkil daun jarak, hingga limbah sawit juga bisa disulap jadi biogas. Bahkan, biogas dapat difungsikan sebagai bahan bakar generator pembangkit listrik yang selama ini menggunakan solar atau bensin. “Jadi, tidak usah bingung dengan sumber energi. Dengan biogas, daerah yang tidak dipasoki listrik, dapat diterangi,” ucap Sri.
Dari biogas pula, Sri berhasil menciptakan peralatan mengagumkan seperti alat masak nasi (rice cooker), kompor gas, lampu, hingga traktor sawah yang lagi-lagi menggunakan kekuatan super biogas. Bahkan, Sri juga telah mengubah kotoran manusia menjadi gas biru tanpa rasa, bau, dan tidak usah khawatir akan meledak. “Selama ada sampah dan kotoran, sejauh itu pula biogas berjaya. Kita harus memulainya,” papar pendekar biogas ini.
Sri menerangkan, Biogas merupakan campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik, yaitu bakteri yang terdapat pada bahan-bahan organik yang menghasilkan gas metana, karbon dioksida, dan hidrogen. Beratnya 20 persen lebih ringan ketimbang udara. Ajaibnya, selain tidak berbau dan berwarna, gas yang dihasilkannya juga sebiru LPG (Liquified Petroleum Gas) atau gas tabung yang biasa kita gunakan. Keunggulan lain biogas dibanding bahan bakar minyak yang berasal dari fosil adalah sifatnya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kesamaan karakter yang dimiliki biogas dengan gas alam, seperti kandungan metana hingga 60 persen, sangat potensial untuk menggantikan peran minyak tanah dan bahan bakar fosil, yang masih kita gunakan sebagai energi utama saat ini.
Saat ini, Sri Wahyuni bersama Ketua Umum Partai Berkarya H. Hutomo Mandala Putra, S.H., sedang mengembangkan laboratorium pemberdayaan pangan dan energi terbarukan dari biogas di wilayah Hambalang, Bogor. Rencananya, laboratorium ini akan menjadi ruang belajar bagi seluruh petani dan peternak di seluruh Indonesia, agar bisa swasembada pangan dan energi sekaligus, tanpa harus tergantung kepada energi minyak dan batubara yang masih mendominasi.
Teknologi penghasil energi listrik yang dikreasi oleh Dr. Sri Wahyuni -yang juga seorang konsultan- ini sudah diaplikasikan di lebih dari 300 kabupaten di seluruh Indonesia. Tentunya, jika teknologi biogas dari kotoran dan sampah ini bisa untuk menghasilkan listrik di keluarga Joyo Loso, Titin dan kedua adik keponakannya akan bisa belajar dengan tenang, dengan limpahan cahaya listrik yang murah sekali. Sehingga, senja dan gelapnya malam, tidak akan menjadi ancaman yang mencekam lagi bagi Titin Prihatiningrum dan seluruh keluarga Joyo Loso. Selamat tinggal kegelapan, selamat datang cahaya!