Sejarah Rumoh Cut Meutia dan Rumoh Aceh di TMII
Editor: Satmoko Budi Santoso
Tipe warnanya pun identik warna Aceh, yakni hijau, kuning, merah dan hitam. Warna hijau bermakna kemakmuran, kuning perlambang kebangsaan dan kerajaan, dan merah adalah keberanian. Hitam sebagai warna dasar yang fundamen untuk seluruh warna.
Di samping rumoh Aceh, terdapat replika Lonceng Cakra Donya yang diberikan oleh kerajaan China melalui Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh.
“Cakra ini hadiah dari negeri Thiongkok pada tahun 1414, sebagai ikatan persahabatan antara kerajaan China dengan Kerajaan Aceh,” tandasnya.
Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 Masehi, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia.
Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5).
Anjungan Aceh TMII juga dilengkapi meunasah (mushola), panggung pertunjukan dan kantor pengelola. Setiap Sabtu dan Minggu pukul 14.00 WIB, sanggar seni diklat anjungan ini juga dimeriahkan dengan tarian khas Aceh.
Bahkan, sanggar-sanggar kesenian Aceh yang berada di sekitar Jakarta juga turut dirangkul anjungan ini untuk berlatih bersama dalam upaya pelestarian budaya tradisi Aceh.
Cut Putri berharap, melalui TMII dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta serta dinas provinsi lainnya, mengajak siswa sekolah melakukan studi budaya dan wisata ke setiap anjungan, khususnya untuk edukasi.
Semua pelajaran tentang budaya lahir di anjungan daerah yang bisa membuat anak-anak sekolah itu tahu bahasa adat daerahnya masing-masing. Misalnya, sebut dia, si anak bisa bahasa Batak, diharapkan dengan studi ke anjungan Aceh bisa tahu dan mengerti bahasa Aceh. Mereka tidak hanya belajar tentang adat daerahnya, tapi juga tahu budaya daerah orang lain.