Melankolia Bunga-bunga

CERPEN INUNG SETYAMI

IA tampak murung, melihat pohon-pohon telah terluka. Tak ada lagi, gadis yang gemar menyelipkan bunga-bunga merah muda di helai rambutnya. Tak ada! Kupu-kupu yang riang mengepakkan sayap, seperti kehilangan jejak wewangian bunga-bunga yang mekar di helai rambutnya…

Mata yang telah rabun. Jika kau melihat langit, mata itu serupa langit senja tanpa semburat jingga. Keriput menempel pada wajahnya, menandakan ia sudah tak lagi muda. Namun samar terlihat, ia pernah memiliki kecantikan yang tak biasa. Kecantikan yang tercipta dan terpelihara oleh alam.

Kecantikan itu, kini telah terenggut usia. Giginya beberapa tanggal. Dua gigi hitam di depan masih tersisa. Dengan sisa-sisa kekuatan ia berjalan berduyun. Tangan dan kakinya yang tidak lagi tegap bergetar menyangga badannya yang rapuh.

Ia menyaksikan sendiri, suasana dan keadaan yang sangat jauh berbeda pada masanya. Ia melihat segalanya berubah. Segalanya tak lagi ramah. Dulu ia mandi di sungai yang jernih. Air itu kini memang masih ada, tapi warnanya berubah dan baunya busuk, air limbah. Tak ada ikan-ikan yang menggoda pandangannya, untuk berlama-lama di sungai itu.

Tumbuh-tumbuhan bisa ia tumbuk untuk ramuan obat dan merawat tubuhnya ketika mandi. Juga bunga-bunga yang selalu ia petik untuk menghiasi rambutnya. Kini ada benda yang mereka sebut sebagai ‘sabun’ sudah masuk ke daerah itu. Untuk perawatan tubuh gadis-gadis di sini. Menggantikan peran ramuan tumbuh-tumbuhan yang sudah berpuluh tahun diajarkan oleh nenek moyang mereka.

Dan untuk wewangian, ia pernah mendengar benda itu bernama ‘parfum’. Gadis-gadis selalu memakainya. Bahkan jika terendus, parfum beraneka ragam itu kadang seperti menusuk hidungnya. Gadis-gadis yang ia lihat sangat berbeda pada masanya. Jika dulu ia dan gadis seusianya menutup tubuhnya, dan membiarkan rambut panjangnnya terurai berhias bunga-bunga.

Lihat juga...