BARANGKALI ada beberapa hal yang mestinya tetap tersimpan rapat dan jangan sekali pun dibuka dengan alasan apa saja, termasuk rahasia dalam satu keluarga.
Namun, Bramantyo merupakan lelaki yang memegang teguh sebuah prinsip: kebenaran harus diungkapkan, kendati terkadang pahit akibatnya.
Ia konsisten menjaga idealisme itu dalam hidupnya. Lantas, menjelmalah sesuatu tak terduga bagi Bramantyo dan Imani, istrinya, tepatnya sesudah mereka memberitahu riwayat sesungguhnya kepada Melani, putri tunggal mereka.
Memang dampaknya tidak seketika itu juga menerpa, tapi akhirnya mereka kehilangan sesuatu yang begitu berharga. Risiko yang harus mereka tanggung sendiri.
Bramantyo dan Imani memiliki asumsi bahwa Melani sudah dewasa dan layak mengetahui sebuah fakta yang selama ini disembunyikan dari sang putri. Lelaki berusia 58 tahun itu berhati-hati mengatakannya agar Melani bisa menerimanya dengan lapang dada.
“Melani, ada hal penting yang harus kami beritahukan padamu. Tampaknya sekarang sudah tepat waktunya, tapi Bapak minta kau persiapkan mentalmu lebih dulu agar tidak terlalu terkejut nanti.”
“Apa sih yang akan Bapak katakan? Saya siap saja kok, apa pun itu.”
“Baiklah. Sebenarnya… Kau bukan anak kandung kami, Nak.”
“Hah, apa saya tidak salah dengar?”
“Tidak, Nak. Memang begitulah kebenarannya.”
“Lantas, siapa sebetulnya orangtua kandung saya? Apakah Bapak dan Ibu mengenalnya? Tinggal di mana mereka sekarang?” tanya Melani yang jelas tercengang bukan kepalang. Serta-merta diajukannya sejumlah pertanyaan sekaligus dengan mata berkaca-kaca.
“Iya, kami mengenal mereka, bahkan kau pernah bertemu mereka. Kau tahu Paklik Mustajab kan, sepupu jauh Bapak yang tinggal di desa terpencil itu? Dialah ayah kandungmu.”