Perludem Sebut Enam Bahaya Ambang Batas Pencapresan
Editor: Makmun Hidayat
Titi menyebutkan, perempuan tidak hanya ditinggalkan dalam kancah politik tetapi sangat mungkin tidak dihitung dalam proses pemilu ini. Jadi ambang batas makin menjauhkan perempuan dari narasi politik dan elektoral.
Keempat, yakni soal pragmatasi politik dan pluralisasi pem-bully yang gencar. “Saya setelah mengajukan ambang batas ke Mahmakah Konstitusi (MK) di-bully-nya luar biasa,” ujar Titi.
Sesungguhnya dengan melakukan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden secara sadar memilih narasi kita untuk kembali terpolarisasi. Jadi ini adalah kontribusi dari pemberlakukan ambang batas, seolah-olah kita sebagai warga negara tidak punya kehendak bebas untuk berdemokrasi.
Kelima adalah penurunan partisipasi politik dalam bentuk pengguna hak pilih, dan tendesusnya sudah ada. Yakni jelas Titi, pada 2014, angka pengguna hak pilih pemilihan presiden (pilpres) itu lebih rendah daripada pemilu legislatif (pileg). Karena ada kelompok masyarakat yang tidak terwadahi oleh dua pihak calon.
Terakhir keenam menurut dia, ancaman yang paling bahaya dari pemberlakukan ambang batas ini adalah politik transaksional. Dimana koalisi yang tercipta, bukan lagi koalisi yang alamiah berbasis ideologi tetapi kepentingan yang bisa terfasilitasi karena dia dibatasi oleh ambang batas.
Belum lagi aturan-aturan yang, misalnya kalau tidak mencalonkan pemilu kedepan tidak boleh ikut. Ini dituangkan dalam pasal 235 ayat 5 UU No. 7 Tahun 2014.
“Masa orang sudah diberlakukan ambang batas, kalau dia tidak cukup suara dari mestinya atau tidak mencalonkan, semua orang tidak boleh ikut pemilu lima tahun mendatang,” ujarnya.