Perludem Sebut Enam Bahaya Ambang Batas Pencapresan

Editor: Makmun Hidayat

JAKARTA — Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat ada enam bahaya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden jika dipaksakan untuk diberlakukan.

Pertama, rekrutmen politik oleh partai politik (parpol) makin elistis, sentralistis, dan tertutup. “Kalau di sini ada angota partai, saya yakin tidak tahu menahu dengan manuver yang dilakukan oleh para elit partai,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini pada diskusi publik bertajuk ” Hapus Ambang Batas Nyapres: Darurat Demokrasi, Darurat Konstitusi” di Gedung Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (31/7/2018).

Padahal kalau mengacu pasal 223 ayat 1 UU No. 7 tahun 2017 menyebutkan pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka.

“Apa yang terbuka yang tahu cuma elitnya saja. Jadi institusi partai kita makin elitis, sentralistis dan tertutup. Karena dikendalikan elit didalam membuat keputusan yang mestinya melibatkan anggota,” ungkapnya.

Kedua, narasi pencalonan presiden dan wakil presiden makin pragmatis. Bukan lagi bicara apa visi, misi, platform, ideologi yang menyatukan koalisi, tetapi bicara soal orientasi figur.

Ini menurut Titi, karena memaksakan ambang batas. Sehingga narasi pencalonan yang berbasis ideologi dan visi misi partai itu tidak ada. Yang selalu dibicarakan adalah siapa, bukan soal pertemuan ideologi antarpartai.

Hal ini menurutnya, menjauhkan kita dari prosss kontestasi sebagai bagian dari pendidikan politik.

Adapun ketiga adalah sistem politik kita makin sulit dijangkau oleh perempuan. “Ada nggak kita bicara soal kanal untuk perempuan menjadi bagian dalam proses pilpres. Tidak ada,” kata Titi.

Lihat juga...