JAKARTA – Pemerintah sedang mendorong peningkatan ekspor berbagai komoditas, dalam rangka mengurangi defisit neraca perdagangan atau lebih banyaknya nilai impor, dibandingkan nilai ekspor yang dialami pada semester I-2018.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,74 miliar Dolar AS pada Juni 2018. Namun, neraca perdagangan Indonesia sepanjang semester satu 2018 tercatat masih defisit 1,02 miliar Dolar AS, dibanding semester satu 2017, yang mencatat surplus besar hingga 7,66 miliar Dolar AS.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Juni 2018, mencapai 88,02 miliar dolar AS atau meningkat 10,03 persen dibanding periode yang sama tahun 2017, 80 miliar Dolar AS.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan. Abdul Halim, mengingatkan, dorongan untuk melakukan ekspor perikanan perlu memperhatikan faktor inflasi yang juga kerap disorot oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut Abdul Halim, salah satu solusi untuk menahan laju inflasi adalah dengan memastikan terpenuhinya kebutuhan domestik, sehingga tidak ada komoditas yang diekspor sebelum dipenuhinya kebutuhan nasional.
Untuk itu, Abdul Halim menyatakan, pemerintah sebaiknya jangan berpikir pendek, dengan menggenjot ekspor dan membuka impor seluas-luasnya bila pasokan berkurang.
Hal tersebut dinilai berpotensi malah menambah harga terhadap sejumlah komoditas pangan yang diimpor, apalagi bila harga rupiah sedang melemah terhadap dolar AS.
Ia mencontohkan, untuk komoditas ikan yang dinilai BPS masih berandil terhadap keseluruhan inflasi pada Juni 2018, pemerintah seharusnya memperkuat industri sektor pengolahan dan pemasaran ikan di dalam negeri.
Sejauh ini, ujar dia, pemerintah justru mendorong ekspor raw material ke luar negeri, praktik yang justru bertolak belakang dengan mandat UU Perikanan.
Ia juga mengemukakan, bahwa untuk mendukung aktivitas pengolahan dan pemasaran itu, harus dipastikan infrastruktur pendukungnya, seperti cold storage, daya listrik, dan jalur transportasi yang memadai.
Selain itu, ujar Abdul Halim, pemda juga dapat saling berkoordinasi dengan daerah tetangganya, agar dapat bekerja sama mendatangkan komoditas dari daerah yang kelebihan pasokan ke daerah yang mengalami kekurangan pasokan.
Abdul Halim menyatakan, penguatan industri pengolahan yang terserbar di berbagai daerah bisa menjadi salah satu cara bagi pemerintah untuk menggalakkan ekspor.
Untuk itu, ujar dia, cara alternatif selain ekspor untuk meningkatkan devisa dan memperkuat nilai mata uang rupiah dapat dilakukan dengan memperkuat pengolahan-pemasaran serta memberi insentif.
Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan insentif kepada setiap unit usaha, untuk memasarkan yang sudah diolah, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Sedangkan terkait hambatan ekspor, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai perlu benar-benar membimbing pengusaha perikanan, agar dapat lancar dan mampu memenuhi berbagai persyaratan sertifikasi, yang diperlukan untuk mengekspor ke AS dan Uni Eropa.
“Pembinaan oleh pemerintah sangat penting,” kata Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo), Moh Abdi Suhufan.
Menurut Abdi Suhufan, KKP mesti melakukan pendampingan yang intensif, seperti kepada kelompok nelayan tuna, agar cara tangkap dan pemprosesan tidak merusak mutu tuna.
Apalagi, ia mengingatkan produsen perikanan yang berorientasi ekspor mesti mematuhi dan memenuhi syarat negara tujuan ekspor.
Abdi mengemukakan, bahwa kalau dari sisi regulasi atau perjanjian, instrumennya sudah cukup tersedia, seperti Catch Certificate atau Sertifikat Hasil Tangkapan yang merupakan persyaratan yang diterapkan oleh Uni Eropa terhadap negara-negara yang ingin memasarkan produk perikanan ke wilayahnya.
Aturan tersebut, lanjutnya, melengkapi aturan Health Certificate atau Sertifikan Kesehatan.
Abdi berpendapat, bahwa permasalahannya saat ini adalah bagaimana pelaku usaha perikanan nasional mau dan sanggup mengikuti berbagai persyaratan ekspor tersebut.
Sebelumnya, Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar, menyatakan bahwa beberapa tahun terakhir, minat aktivitas perikanan tangkap di Indonesia meningkat.
Tetapi, menurut Zulficar Mochtar, masih banyak praktik pelanggaran yang menunjukkan rendahnya kepatuhan dan tanggung jawab pelaku industri perikanan.
Hal itu, ujar dia, berdampak kepada tata kelola perikanan yang berkelanjutan serta menimbulkan kerugian negara yang besar, antara lain melalui mark down puluhan ribu kapal, praktik pinjam meminjam izin, pemalsuan dokumen perizinan.
Selain itu, lanjutnya, ditemukan pula modus seperti ketidakpatuhan/rekayasa pelaporan hasil perikanan, ketidakpatuhan perpajakan (termasuk pelaporan omzet usaha), penyamaran dengan menggunakan modal asing dalam usaha penangkapan ikan.
Sebagai tindak lanjut, paparnya, KKP sedang mengembangkan kebijakan terkait pengawasan kepatuhan izin perikanan tangkap yang bertujuan untuk mencegah dan mendeteksi serta mengatasi permasalahan pelanggaran hukum pada usaha perikanan.
Abdi juga mengemukakan, kebijakan pemerintah semestinya dapat didorong untuk benar-benar menghilangkan hambatan ekspor untuk memicu semakin banyaknya produk nasional yang dikirim ke luar negeri.
“Upaya menghilangkan hambatan ekspor yang dilakukan oleh pemerintah mesti terus dilakukan, dan hasilnya dikomunikasikan kepada kepada dunia usaha,” katanya.
Selain itu, ujar dia, sektor produksi perikanan, baik tangkap maupun budi daya mesti dijaga, agar dapat menghasilkan produksi yang berkualitas, berorientasi ekspor, dan meningkatkan volume untuk perdagangan internasional, karena volume ekspor sangat bergantung dengan produksi yang dihasilkan.
Sedangkan para produsen perikanan Indonesia yang berorientasi ekspor, mesti mematuhi dan memenuhi persyaratan negara tujuan eskpor.
Apalagi, ia mengingatkan, bahwa saat ini merupakan kesempatan yang baru bagi eksportir, antara lain karena harga jual dalam Dolar AS dinilai dalam kondisi bagus.
Sebagaimana diwartakan, Presiden Joko Widodo meminta para kepala daerah memberikan kemudahan sebesar-besarnya kepada investor yang akan masuk ke daerah, terutama yang berorientasi ekspor dan substitusi impor.
“Neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan kita masih defisit, problemnya ada di investasi,” kata Presiden Jokowi, di Jakarta, Kamis (26/7).