Indonesia Kekurangan Sejarawan Seni
Editor: Satmoko Budi Santoso
JAKARTA – Bonnie Triyana termasuk sejawaran muda yang kritis dan sangat peduli dengan heritage, warisan sejarah yang tak ternilai harga dan memang patut dipertahankan atau dilestarikan keberadaannya.
Ia produktif menulis artikel yang tersebar di berbagai media massa nasional.
Bonnie dikenal sebagai sejarawan di balik gagasan berdirinya Museum Multatuli di Rangkasbitung, Banten dan juga salah satu sejarawan yang terlibat aktif dalam menyelamatkan gedung Sarekat Islam di Semarang.
“Indonesia kekurangan sejarawan seni yang mempunyai tugas melampaui sekadar memberi harga pada karya seni, tapi juga memberi harga yang di luar bersifat komersil,“ kata Bonnie Triyana, sejarawan dan Pemred Majalah Historia, mengawali pemaparan sebagai pembicara dalam acara diskusi budaya Indonesia dalam Perhelatan Dunia bertema ‘Kebudayaan Sebuah Diplomasi’ di Balai Budaya, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Lelaki kelahiran Rangkasbitung, 27 Juni 1979, itu mengharapkan semoga ke depan punya sejarawan seni yang punya marwah dan punya kemampuan yang mendalam.
“Karena seperti kata Bang Remy Sylado, kita hanya mengimpor dari Barat, kemudian mempraktikkannya dan menelannya bulat-bulat, ada benarnya juga,“ ungkap sejarawan dan mengoleksi banyak lukisan, termasuk lukisan Aisul Yanto yang akan pameran tunggal di di Jakarta Barat.
Bonnie merujuk pada persoalan debat klasik, ketika Sudjojono dan Agus Djaja mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1938 sebagai sebuah kritik terhadap perkembangan lukisan Mooi Indie.
“Mooi Indie disatukan oleh aliran tertentu dalam seni lukis, tapi sebenarnya bergabungnya para seniman dalam Persagi bukan disatukan style of art tertentu tapi karena ideologi yang bergabung karena kesadaran yang sama bahwa kita harus menampilkan realita yang lain yang selama ini disampaikan Mooi Indie,“ bebernya.