Hukum Adat Harus Fleksibel untuk Perempuan
SORONG – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengharapkan penerapan hukum adat, khususnya di Papua dan Papua Barat, harus lebih fleksibel untuk perempuan dan anak.
“Pasti ada hal-hal yang sedikit pro dan kontra dengan adat terkait perempuan dan anak jika dilihat dari sisi pemerintah. Kita saat ini sedang menjalankan program PBB, dan untuk di Papua memang harus melalui pendekatan khusus hingga bisa mengubah pola pikir masyarakat untuk menjalankannya,” kata Yohana saat melakukan dengar pendapat dengan Dewan Adat Papua dalam rangkaian kegiatan Diplomatic Tour 2018 di Sorong, Kamis.
Ia mengatakan, hukum adat harus fleksibel untuk bisa menjalankan poin kelima dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang digagas PBB, di mana perempuan sebagai pilar penting pembangunan berkelanjutan, yang dapat dicapai melalui persamaan gender dan pemberdayaan perempuan.
PBB secara global ingin memastikan perempuan dan anak selamat di masa depan karena mereka yang akan menjadi pemimpin planet ini, lanjut Yohana.
“Kami harus kerja lebih dekat lagi ke masyarakat adat. Dewan adat yang akan dirangkul untuk mendorong kemajuan perempuan dan anak, sehingga meski ada pro dan kontra tapi tetap ada kesepakatan untuk menyelamatkan perempuan dan anak karena mereka masa depan Papua,” ujar dia.
“Assessment”, menurut dia, sedang dilakukan bersama Dewan Adat Papua untuk mendapatkan masukan program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang bisa dijalankan di setiap wilayah adat.
“Memang kita tidak bisa langsung masuk, sekarang sedang dilakukan ‘assessment’ oleh Dewan Adat. Saya minta lembaga riset di Papua juga ikut melakukan penelitian di kabupaten-kabupaten seperti Asmat dan empat hingga lima wilayah adat besar Papua untuk memberikan masukan,” ujar dia.