Efektivitas Bansos Tekan Jumlah Kemiskinan

Ilustrasi -Dok: CDN
JAKARTA – Ekonom Indef, Bhima Yudistira, mengatakan efektivitas belanja sosial dan pembangunan infrastruktur melalui instrumen fiskal, perlu ditingkatkan agar secara berkelanjutan mampu mengurangi penduduk miskin dan mempersempit jurang ketimpangan, yang menjadi kelemahan dari pencapaian pertumbuhan ekonomi.
“Selama bantuan sosial (bansos) tepat sasaran dan tidak terlambat, itu sudah bagus. Namun, bansos itu kan bergantung dari APBN. Jika bansos dipangkas, jumlah orang miskin berpotensi naik,” katanya, di Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Berdasarkan data BPS yang dirilis Juli 2018, untuk periode Maret 2018, angka kemiskinan menurun menjadi 9,82 persen, atau masih terdapat 25,95 juta penduduk termasuk kategori miskin. Angka itu berkurang 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang atau 10,12 persen.
Penurunan angka kemiskinan itu, lanjut Bhima, tidak lepas dari peningkatan jumlah penerima bansos pada 2017 ke 2018, yang naik dari enam juta rumah tangga menjadi 10 juta rumah tangga. Hal itu menopang pertumbuhan pengeluaran kelompok masyakarat miskin.
Karena itu, lanjutnya, program bansos menjadi salah satu program yang harus diprioritaskan pemerintah. Politik anggaran dalam APBN perlu terus mendukung efektivitas bansos kepada masyarakat miskin, baik dari postur anggaran, efektivitas penyaluran dan jumlah masyarakat penerima.
“Misalnya, PKH (program keluarga harapan) tahun 2017 ada enam juta rumah tangga, lalu naik ke 10 juta rumah tangga. Otomatis orang miskin yang dapat bantuan semakin banyak,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, pemberdayaan masyakarat miskin untuk lebih mandiri juga harus terus digiatkan, dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk berusaha dan memperoleh pendapatan yang lebih banyak. Salah satu upayanya dengan pembangunan infrastruktur, terutama di daerah, agar biaya logistik dapat berkurang.
“Infrastruktur juga harus padat karya. Usulannya infrastruktur harus menggandeng kontraktor skala kecil di daerah, jadi ada proses pemerataan pembangunan,” ujar dia.
Namun, rendahnya garis kemiskinan yang digunakan BPS, menurut Bhima, perlu pula dikaji kembali. Ia mengatakan, BPS masih menerapkan angka garis kemiskinan Rp400 ribu per orang per bulan. Artinya, jika pengeluaran seseorang di bawah Rp400 ribu per bulan, dia berada di bawah garis kemiskinan dan termasuk kategori penduduk miskin.
“Garis kemiskinan itu masih jauh di bawah standar Bank Dunia. Standar Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah ke bawah seperti Indonesia, yakni 3,2 dolar AS per kapita per hari. Asumsinya, dengan kurs rupiah Rp14.400 per dolar AS didapat tingkat minimum pendapatan Rp1,3 juta per orang per bulan,” ujarnya. (Ant)
Lihat juga...