Ritus Mudik
OLEH TJAHJONO WIDARMANTO
Peristiwa mudik ke kampung halaman ini juga merupakan simbolisasi kecintaan terhadap tanah kelahiran sebagai “ibu kandung kebudayaan”. Mudik menunjukkan kesadaran untuk tidak lupa diri dan tidak ingkar pada asal-usul.
Tradisi Timur menganggap orang yang lupa pada asal-usul akan memiliki “dosa budaya” yang akan menanggung risiko “siksa budaya”. Hal itu tersirat dalam kisah Malin Kundang yang terkutuk menjadi batu.
Kisah ini tak sekadar mengusung nilai kepatuhan pada ibu, namun juga bisa dipandang sebagai narasi metaforik dari seorang manusia yang ingkar terhadap asal-usulnya dan lupa pada tanah kelahirannya.
Kisah Malin Kundang ini disebut Lyotard (2004) merupakan inti pengetahuan dan kearifan tradisional tentang bagaimana manusia memandang dan bersikap sebagai makhluk berbudaya.
Mudik yang selalu bersinggungan dengan Ramadan dan Idul Fitri ini bisa pula diartikan sebagai ritus dalam koridor fenomena sosial dan budaya yang bertemu dengan peristiwa religi. Puncak pencapaian ibadah puasa adalah kembalinya atau berpulangnya seseorang kepada fitrah sebagai manusia yang terbebas dari dosa.
Ritus mudik selalu melekat dengan momentum Idul Fitri, karena makna simboliknya adalah kembali pulang kepada kesucian jiwa. Idul Fitri dalam kosa kata budaya Indonesia adalah Lebaran: bermakna peleburan segala dosa, salah dan khilaf dalam kerangka hubungan horizontal dan vertikal.
Akhirnya, memang, mudik akan selalu menjadi momentum yang amat istimewa. Setelah berhari-hari, berminggu-minggu hingga berbulan-bulan manusia dipaksa bertahan dan bersaing dalam pertarungan hidup yang keras bahkan liar. Bisa menyebabkan saling sikut, curiga, prasangka, menebar fitnah, memaki dan mencibir, maka tiba saat melebur segala dosa.