Ritus Mudik
OLEH TJAHJONO WIDARMANTO
Ritual mudik tidak sekadar berkonotasi fisik. Mudik harus ditafsirkan dalam kerangka filosofis, bahkan spiritual, sebagai manifestasi kesadaran untuk kembali dari berbagai pengembaraan fisik dan jiwa. Ritus mudik bisa dikaitkan pula dalam konsep waktu. Mudik adalah peristiwa dalam waktu yang melingkar.
Konsep waktu dalam kebudayaan Timur memang melingkar atau cakra manggilingan, bukan linear seperti konsep Barat. Namun selalu ada titik perputaran untuk kembali. Selalu ada titik balik.
Kita tak akan pernah sanggup untuk berucap, ”Saya pergi dan tak akan pernah kembali.” Namun akan senantiasa berkata, “ Setinggi-tinggi terbang bangau akhirnya ke pelimbahan juga.”
Mudik dikatakan oleh budayawan Umar Kayam (2002) sebagai tradisi primordial masyarakat agraris Jawa berabad-abad lalu yang kemudian bermetamorfosis menjadi cara kaum urban untuk menemukan kembali nilai-nilai keadaban yang hanya bisa ditemui di kampung halaman.
Keras dan letihnya perjuangan hidup di kota membangkitkan imajinasi kampung halaman menjadi obat penawar rasa letih dan keterasingan diri. Kampung halaman mengandung memori sejarah yang membangunkan kembali otentisitas nilai-nilai kemanusiaan.
Melalui mudik inilah manusia modern, yang dikatakan oleh Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1964), sarat kealpaan karena teralienasi oleh serangan industrialisasi, ekonomi dan teknologi, menemukan kembali hakikat diri.
Mudik menjadikan manusia urban mendapatkan kembali imaji kampung halamannya yang sarat rasa kebersamaan, guyub, solider, tradisional dan damai. Mereka menemukan kembali identitas diri setelah berkelana jauh bersinggungan dengan nilai budaya modernitas yang manipulatif, liberal, individual, kompetitif dan saling sikut.