“Bola itu masuk ke pura,” jawabnya gugup.
“Kau menendangnya ke pura?”
“Tidak. Bola itu masuk sendiri ke pura.”
“Bagaimana mungkin bola itu masuk sendiri jika kau tidak menendangnya!” bentak ayahnya.
Ia ingat ayahnya, setiap hari setelah selesai bekerja mengajaknya ke pura itu untuk menunggu kedatangan pemiliknya agar mereka diizinkan masuk mengambil bola. Ayahnya juga mewanti-wantinya agar lekas meminta maaf terlebih dahulu apabila mereka bertemu dengan pemiliknya.
Tapi, gerbang pura itu tetap terkunci selama berhari-hari dan mereka tidak bertemu dengan siapa pun yang menjadi pemilik pura itu. Ia diam-diam menangis setiap malam mengenang bola kesayangannya. Yang paling ia ingat adalah perkataan ayahnya. Ayahnya gemar mengulang-ulang kalimat ini di telinganya, “Benci sekali aku pada orang yang pengecut!”
Perkataan itu sangat sering didengarnya sehingga sekarang ia masih hafal. Berhari-hari ia dan ayahnya masih menyempatkan waktu untuk melewati pura itu, tapi pura itu tetap terkunci. Dan berhari-hari pula ia mendengar perkataan ayahnya itu.
Meski ibunya berkali-kali menghiburnya dengan berjanji membelikan bola yang baru, ia tetap menginginkan bola yang masuk ke dalam pura itu. Bola itu pemberian ayahnya ketika ia berulang tahun yang ke sepuluh. Ayahnya yang seorang pemarah, tak disangka akan memberikannya kado berupa bola. Itulah mengapa ia sangat terkesan dan tidak menginginkan lagi bola yang lain.
Kemudian secara tidak sengaja ia kembali melewati pura itu, kali ini tanpa ditemani ayahnya. Ia melihat gerbang pura itu terbuka. Sesaat ia merasa takjub dan ingin segera berlari masuk mencari bolanya.